Cerita Singkat di Jakarta
Oleh Dodi Prananda
Jakarta, Karet Tengsin, 16 Mei 2007
Karet tengsin masih sepi. Tanahnya basah. Kemarin sore hujan mengguyur dan baru reda ketika adzan subuh menggema di telingaku. Aku adalah penduduk baru di Karet Tengsin. Di kawasan yang dinamakan kawasan segitiga emas kuningan aku bekerja sebagai seorang mandor yang gajinya jauh lebih banyak bila dibandingkan ketika aku bekerja di kampung halamanku sebagai seorang buruh kasar.
Seminggu di Karet Tengsin aku belum merasakan nikmat Jakarta yang seperti orang-orang katakan. Namun sudah banyak yang kenal di Karet Tengsin. Di mana setiap paginya aku melihat warga menuju tambang emas.
Di karet Tengsin aku selalu mendengar keributan di rumah yang tersusun di balik rumah Bu Kardi. Katanya di rumah petak yang berukuran tidak besar itu dihuni oleh seorang wanita penghibur ibu kota. Bu Kardi juga pernah berkata bahwa ia melihat wanita yang tinggal di rumah itu, memasukkan seorang pria ke dalam rumahnya. Sedangkan ia mengaku kepada ketua RT bahwa ia masih belum bersuami.
Kata-kata yang keluar dari mulut Bu Kardi membuat aku ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di rumah wanita penghibur itu.
Aku mengalami sebuah kejadian yang tidak terduga dan membuatku mengenal wanita penghibur itu lebih jauh. Dari pertemuan itu aku mengenal dan mengetahui bahwa namanya Wina. Memang, malam itu aku sudah berencana untuk mengikuti langkahnya. Dengan diam-diam aku mengikuti langkahnya menuju sebuah tempat yang tak asing lagi baginya.
Setelah berhenti di sebuah diskotik, tempat berkumpulnya wanita yang bekerja seprofesi dengannya. Sebuah diskotik yang lumayan jauh dari keramain Karet Tengsin. Ia melihat laki-laki hidung belang yang pernah di kencaninya. Setelah lama memandang ia langsung merangkul seorang lelaki yang duduk tepat dibawah tulisan disktotik malam Karet Tengsin.
Aku yang melihat aksi wanita itu tidak lagi ingin meneruskan langkah untuk membuntutinya. Aku hanya menginginkan Bu Kardi sekarang hadir di depan mataku untuk mengatakan hal yang baru saja kulihat dengan mata kepalaku. Aku mengurungkan niat untuk mengenalinya lebih jauh. Sebagai seorang kupu-kupu di malam yang sunyi ia hinggap di sebuah tangkai yang membelainya, kadang tangkai yang berduri itu menusuk tubuhnya. Akh! Aku membenci dia. Dia yang ada di Karet Tengsin, dia yang ada di Jakarta.
Lambat laun setelah pertemuanku dengan dia di disktotik malam itu aku menjadi buah bibir di Karet Tengsin. Aku di tuduh berbuat yang tidak-tidak dengan dia. Setelah itu aku di usir dari daerah Karet Tengsin dengan tidak terhormat karena malam itu aku kepergok bergumul dengan dia. Aku menyesal telah terjebak oleh kupu-kupu malam.
Jakarta, Kebayoran 18 Mei 2008
Di pagi seperti ini penduduk daerah kebayoran sudah keluar dari rumah mereka. Aku masih terus berjalan mencari rumah kontrakan yang harganya sesuai dengan uang yang ada di kantong kemejaku. Di sebuah warung kopi yang ada di daerah Kebayoran aku melihat lekaki yang berumur lebih dari setengah abad mereguk secangkir kopi sesekali menggaruk-garuk kepalanya setelah membaca harian kota. Ia menatap padaku, begitu juga dengan pemiliknya.
Waktu itu aku berteduh di halte Kebayoran karena hujan turun begitu deras. Seorang wanita beruban menyahut pada diriku yang berada beberapa meter di sampingnya. Aku merasa beruntung ketika warga Karet Tengsin mengusirku dari daerah itu. Di halte itu aku ditawarkan oleh wanita beruban itu untuk bekerja di warung kopi miliknya. Warung kopi yang berada di persimpangan kawasan Kebayoran. Aku di pertemukan dengan Bu Asma, pemilik warung kopi itu. Selain Bu Asma menawarkanku untuk bekerja di warung Kopi miliknya aku juga di tawarkan untuk tinggal di rumahnya.
Hari pertama bekerja di warung kopi milik Bu Asma aku disuruh mengantarkan secangkir kopi kepada para pemesan yang sudah terlebih dahulu duduk di kursi kayu usang yang terbuat dari kayu bayur. Sebagian dari mereka ada yang membaca harian kota dan ada pula yang memperbincangkan pekerjaan mereka.
Di kebayoran, Warung kopi Bu Asma merupakan warung kopi yang sangat digemari oleh warga sekitar. Bahkan karena banyak pelanggan yang masih ingin mereguk kopi di tengah malam, membuat Bu Asma harus menutup warung kopinya pada pukul 24:00.
”Seorang Bocah di cabuli oleh lelaki tua,” ucap lelaki yang selalu kulihat wajahnya di warung kopi Bu Asma ketika membaca harian pagi. Seperti yang dikatakan Bu Asma, nama lekaki itu Pak Usman.
”Iya, Pak! Kemarin juga ada berita seperti itu. Dua hari yang lalu ada juga berita tentang kematian seorang kupu-kupu malam yang dibunuh oleh pelanggannya. Untung saja Kebayoran masih bersih dari hal seperti itu,” tukas seorang pemuda yang duduk bersebelahan dengan Pak Usman.
Aku hanya geleng-geleng kepala.
Setelah Pak Usman dan pemuda tadi usai mereguk secangkir kopi di warung kopi Bu Asma, mereka mengendarai kendaraan mereka untuk pergi ke kantor masing-masing.
”Bu, Jakarta Memang Kejam ya! Apa ibu tadi mendengar apa yang dikatakan Pak Usman?,” tanyaku pada Bu Asma.
”Kau seperti tidak kenal Jakarta saja, Tarmi!. Kau beruntung bertemu ibu di halte Kebayoran kala itu. Kalau tidak, kau pasti akan menjadi sampah Jakarta yang tinggal di Kolong jembatan atau di stasiun,” ucap Bu Asma sambil mengaduk-aduk secangkir kopi untuk seorang pemuda yang tadi memesan.
”Saya tahu itu, Bu! Tarmi sangat berterima kasih kepada Ibu. Seandainya Tarmi tidak bertemu ibu di halte kebaran waktu itu, Tarmi tidak tahu harus mau kemana lagi,” ucapku sambil memeluk wanita tua yang ada di hadapanku ini. Bu Asma mengelus punggungku. Wanita yang telah berumur lebih dari setengah abad itu terasa seperti ibu kandungku saja. Aku jadi merindukan ibu dan bapakku yang kini sudah tiada.
***
Warung Kopi Bu Asma sudah di buka pada pukul 6. Aku orang yang pertama kali menikmati kopi Bu Asma. Sambil menunggu pelanggan berdatangan, aku dan Bu Asma menghirup udara pagi kebayoran. Sesekali lima menit aku mereguk kopi buatan Bu Asma yang asapnya masih mengepul.
”Dulu Kebayoran ini merupakan tempat penimbunan kayu bayur. Kayu bayur itu merupakan sumber penghasilan mendiang suami ibu. Di pagi seperti ini mendiang selalu datang ke tempat kerjanya untuk mencari kayu bayur yang siap ditebang. Kayu bayur itu sangat baik untuk bahan bangunan karena kayunya tidak mudah dimakan rayap,” papar Bu Asma bercerita. Ia menewarang dan membawa kembali ingatannya kepada sebuah masa.
Aku mengangguk-angguk kecil.
Lima menit berlalu. Pelanggan kopi Bu Asma sudah banyak berdatangan. Wajah Pak Usman selalu kulihat di samping pondasi warung. Ia bersandar di sandaran kursi panjang dan kemudian mereguk kopinya ditemani harian pagi. Pak Usman menyantap keduanya sebelum pergi ke kantor.
”Wah, kemarin baru saja ada seorang bocah yang di cabuli, sekarang malah nenek-nenek yang di perkosa seorang pemuda!” jelas Pak Usman sambil membaca ulang kembali berita dalam koran yang ada di tangannya.
”Pak, Pak Usman, lihat ini! Berita ini memang benar-benar mengejutkan!” seorang pemuda yang selalu duduk di samping Pak Usman memperlihatkan harian pagi lokal kepada Pak Usman. Pak Usman segera menghentikan bacaannya. Ia membaca koran yang tadi ada di tangan pemuda tadi.
”Seorang Kupu-kupu malam kebayoran tertangkap basah” begitu berita yang sedang di baca Pak Usman.
Aku yang sedang mengantarkan secangkir kopi kepada Pak Usman ikut membaca berita itu. Aku berkesimpulan bahwa dia juga ada di Kebayoran. Sama halnya dengan di Karet Tengsin.
***
Lebak Bulus, Jakarta, 1 Juli 2007
Aku tinggal di Lebak Bulus setelah pindah dari Kebayoran. Warung Kopi Bu Asma sudah tidak ada lagi. Beliau meninggal dunia di usianya ke 79. Karena Bu Asma telah meninggal dunia, membuatku harus mencari kehidupan baru kembali. Langkahku yang tidak tahu hendak kemana, akhirnya mengantarkanku kepada sebuah tempat yang bernama Lebak Bulus. Aku masih sangat asing sekali dengan Lebak Bulus. Berhari-hari aku tidur di kompleks pertokoan yang pada malam harinya di tutup. Banyak gelandangan yang mencingkuk di depan toko itu beralaskan kardus seadanya saja.
Hari itu aku tidak mau tidur. Aku berjalan menuju sebuah pangkalan ojek. Di sana aku melihat dia menggoda tukang ojek yang parkir di pangkalan. Aku melihat sebagian tukang ojek bergumul mesranya dengan dia meskipun tukang ojek yang lainnya hanya geleng-geleng kepala saja melihat perbuatan mereka.
Pasar Rumput, Jakarta, 31 Juli 2007
Pasar rumput masih lengang. Meskipun adzan subuh sudah berkumandang sejak tadi hanya sebagian orang yang sudah memulai aktifitasnya. Di pagi seperti ini daerah Pasar Rumput sangat dingin.
Di semak-semak, bersama dengan dia, aku berbaringan di atasnya. Kami merapatkan diri meskipun gerimis pagi yang turun begitu pelan hendak mengabarkan perbuatan kami pada kuli tinta. Entahlah, aku makin sangsi, apakah ada seorang kuli tinta yang akan memasang wajah aku dan dia pada halaman depan surat kabar?
Kami begitu mesra di sela-sela keheningan Jakarta.
Padang, Ruang Tamu, 12 Desember 2008 01:20:28 PM