Loving Hurt
Oleh Dodi Prananda
Aji melirik jam tangannya lagi. Melirik jam untuk yang kesekian kalinya. Padahal ia janji dengan Bebi sudah dari satu jam yang lalu. Tapi wajah Bebi tak jua kunjung datang. Aji hanya bisa menggaruk-garuk kepala melepaskan gerahnya.
Berkali-kali ia mencoba untuk menghubungi nomor Bebi. Setiap kali ia mencoba untuk menghubungi, setiap kali itu pula ia mendapatkan jawaban yang sama. Nomer Bebi sudah tak aktif lagi.
”Mbak, nanti kalau ada cewek ke sini bilang saja kalau orang yang tadi nunggu udah pergi,”ucap Aji pada seorang pelayan.
“Baik mas!!”pelayan itu menjawab dengan lembut.
Aji memilih untuk pergi meninggalkan kefe itu dan segera bergegas melepas gerahnya. Ia merasa teramat sangat bosan di jadikan permainan selama ini oleh Bebi. Salah ia juga, mengapa malam itu ia mengiyakan sekaligus menganggukan pernyataan cinta Bebi yang katanya cinta mati pada Aji. Toh, sekarang ini Aji merasa tak ada rasa ketulusan yang ia rasakan selalam pacaran dengan Bebi. Malahan ia terpaksa harus mencintai lukanya sendiri. Loving Hurt.
Tanpa pikir panjang Aji kembali membawa mobilnya meluncur menuju sebuah tempat. Sebuah tempat yang banyak menyimpan sejarah baginya. Sejarah yang manis juga sejarah yang pahit. Tak terasa Aji sampai di taman itu. Hanya sebuah taman apik yang di kerubungi berbagai bunga. Bunga yang menambah kesan romantis untuk pasangan yang sedang asyiknya memadu kasih mereka di taman sederhana itu. Sampai di sana Aji berjalan gontai. Aji menghempaskan tubuhnya ke sebuah pohon rindang yang sudah sering ia datangi bersama Bebi.
Aji jadi teringat waktu ia memadu kasih untuk yang pertama kalinya dengan Bebi di bawah pohon itu. Ia kian teringat kenangannya selepas hujan turun, ia berdua dengan Bebi di mandikan oleh gerimis yang terasa begitu romantis.
Aji jadi senyum sendiri. Kesan romantis yang hadir pada waktu itu membuat Bebi tertawa bersama Aji menyambut kebahagian cinta mereka berdua. Mengingat kenangan saat Bebi terbang bersama gerimis yang turun satu-satu dan Bebi mengepakkan kedua belah tanganya seperti hendak terbang ke awan, menirukan kupu-kupu.
Ingatan Aji makin bertambah jauh. Masih banyak kenangan yang masih menyelip di benaknya. Apalagi waktu masa orientasi siswa. Sebuah kenangan yang takan pernah luntur dari benak Aji. Aji mencoba mengingatnya kembali.
***
“Nggak ada yang boleh nggak make atribut mulai dari kalung pete, topi bundar, tas kardus, dan pita warna-warni bagi yang cewek,”sahut para Senior dengan sangarnya.
Semua murid baru hanya bisa menghela nafas dengan ucapan seniornya. Tak terkecuali Aji, sedikit gugup melihat para seniornya yang tak henti mengerjainya.
“Eh kamu bawa atribut nggak??”tanya Aji pada seorang cewek yang telihat agak panik dan ketakutan.
“Aduh! Gimana nih! Gue nggak bawa apa-apa, bisa-bisa gue pasti di kerjain habis-habisan sama seniornya”cewek yang memiliki paras yang cantik itu masih sedikit panik. Wajahnya agak tegang dan kepanikan.
“Nih! Loe pake aja punya gue!! Gua nggak tega ngelihat cewek di sakitin!”Aji menyodorkan atributnya pada cewek bertampang imut itu.
“Oh ya kita belum kenalan”lagi-lagi Aji berucap.
“Nama gue Bebi putria, loe bisa panggil gue Bebi”
“Gue Aji fahreza, panggil aku AJI”
***
Aji hanya bisa ketawa-ketawa sendiri kalau mengingat kenangan yang sangat manis itu. Meski malam ini Bebi tak datang menemui Aji, tapi tetap di hati lelaki itu masih ada suara-suara batin yang menghembuskan lafas cinta yang kian kentara terdengar di qalbunya.
“Maaf mas! Mau aku ramal?”sebuah suara membuat Aji terkaget dan lamunan Aji tadi buyar seketika.
Aji hanya tercengang ketika sekonyong-konyong datang seorang perempuan dengan gaun putih tepat di sampingnya. Aji memandanginya berulang kali. Di pastikannya kalau ia memang tak mengenal perempuan itu.
“Kamu siapa sich? Emang bisa ngeramal?”timpal Aji memberi komentar.
“Maaf ya kalau tadi aku membuat kamu kaget. Habis kamu serius amat melamun, jadinya kamu nggak mendengar sahutanku. Namaku Arumni. Aku bisa ngeramal apa aja tenang kehidupanmu. Sepertinya kamu sedang banyak masalah”ujar Arumni, si tukang peramal itu.
“Ok dech! Gue mau loe ngeramalin gue untuk masalah cinta dan hidup gue!”
“Kalau kamu memang pengen di ramalin, boleh aku pinjam telapak tanganmu?”pinta Arumni dengan lembutnya.
Aji hanya bisa melongo heran ketika melihat Arumni membaca apa yang tersirat serta rahasia yang tersimpan di telapak tangan Aji.
“Dari masalah cinta kayaknya sebentar lagi kalian bakalan berantakan dan bubar! Aleass putus! Apa kamu siap mencintai lukamu sendiri?”
“Loving Hurt maksud loe?”tanya Aji serius.
“Ya seperti itulah! Dan yang lebih parah ada belenggu mahligai dalam rumah tangga orang tua kamu!”jelas Arumni sok tahu.
“Alah loe sok tahu banget sich!”timpal Aji protes.
“Saya nggak minta kamu percaya pada ramalan saya!”
“Jangan banyak omong deh loe! Gue nggak butuh dan nggak percaya sama yang namanya ramalan”
***
Sudah dari tadi pagi hujan membajiri kota. Hujan yang turun amat deras seolah-olah ingin menampakan kearoganannya. Sedang Aji hanya bisa menikmati
Hari yang sangat membosankan ini di dalam kamar.
Tiba-tiba mama nongol di depan pintu kamar Aji.
“Ji, tadi temen mama bilang ada model sepatu baru di toko sepatu langganan mama. Jadi...,”omongan mama terputus. Tapi Aji mengerti maksud mama.
“Makud mama, mama nyuruh aji nyetir di tengah cuaca badai seperti ini? Mama tahukan kalau bahaya banget nyetir di tengah cuaca kayak gini”Ucap Aji memberi komentar.
“Tapi kalau besok, mama yakin sepatu itu udah di sikat sama teman-teman mama yang lain!”mama memelas. Ia terus meyakinkan Aji untuk pergi ke toko langganan mama hari ini juga.
“Ya udah deh, kalau mama bersikeras juga pergi”timpal Aji sebelum berangkat ke garasi untuk menstarter mobil.
***
Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di toko sepatu langganan mama itu. Sampai di sana mama langsung lari buru-buru ke toko langganannya itu sebelum sepatu yang di impikannya itu di sambar orang lain.
“Ma, Aji tunggu di Kafe biasa aja ya!”ucap Aji pada mama yang sibuk mencari sepatunya itu.
“Ya udah nanti mama samperin!”jawab mama singkat.
Aji melangkahkan kakinya menuju kafe yang biasa ia datangi bersama Bebi ketika ia masih baru jadian dengan Bebi. Ia mempercapat langkahnya hendak bersantai sambil menghabiskan waktu dengan menyeruput segelas Capucino hingga mama kelar mendapatkan sepatunya itu.
Ketika sampai di depan pintu, langkah Aji tiba-tiba terasa berat. Lidahnya tiba-tiba terasa kaku. Barangkali Aji ingin meneteskan air mata itu, tetap semua terasa berat di lakukan.
Kembali ia menepis dugaanya. Satu yang tak bisa ia dustai, yang baru di lihat matanya bukan hanya sekedar drama atau ilusi semata. Untuk kembali meyakinkannya ia mengusap matanya berkali-kali. Benar. Tak ada yang salah dengan apa yang baru saja ia tatap. Bebi. Gadis yang selama ini telah membuat jiwa dan hari-hari kosong Aji menjadi terisi. Bebi yang selalu memberinya semangat ketika Aji merasa down. Tapi kenapa Bebi rela melakukannya.
Mata aji lebih terbakar dengan kehadiran seorang pria berdasi dan berkaca mata. Barangkali itu adalah lelaki yang selalu pulang malam dari kantor dengan alasan sibuk dan ketika mama menanyakan sebuah pertanyaan pada lelaki itu tentang parfum wanita yang menempel di bajunya, maka lelaki itu akan menjawab “Tadi ada orang yang menawarkan parfum”.
Ya. Lelaki itu adalah papa yang telah membohonginya selama ini. Membohongi mama yang telah mencintainya sepenuh hati. Aji buru-buru mengemasi kepingan hatinya yang berderai berkeping-keping. Satu hal yang tak bisa terelakkan, ia harus mencintai lukanya sendiri. Makin ia percepat langkahnya menuju toko langganan mama dan kemudian membawa mama pulang sebelum mama melihat cinta yang telah melukainya. Tiba-tiba Aji jadi teringat pada Arumni, Tukang peramal itu. Sekian*** Padang, 22 Agustus 2008
Dodi Prananda. Lahir di Padang16 Oktober 1993. Sangat mencinta dunia sastra. Berbagai karyanya sudah banyak dimuat di Haluan, Singgalang, dan media cetak lainnya. Sekarang sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah atas. Tepatnya di SMA1 PADANG. Berharap karyanya bisa di muat di Koran nasional. Kini sedang di didik di sanggar sastra Pelangi.