Rabu, 20 Agustus 2008

puisi dodi prananda

Sajak oleh Dodi Prananda

Orang bilang negeri ini pengkhianat

Dasar kecun dunia ini!

Serba muhal di atas tangan penggawa

Mengenang nasib kami dalam nikmat antri,

Dalam duka peluh,

Penat dan derai air mata

Menunggu harga diri di bagikan dalam kantong sembako

Meleburkan hasratku untuk ingin mati saja

Orang bilang negeri ini pengkianat

Memberikan moral palsu pada sanak saudara

Yang antri di kolong jembatan

Mencari harga diri untuk di gadaikan

Mempersunting bumi

Hendak mempersunting bumi

Dalam perhelatan di tengah hangat dan dinginnya pertikaian

Rusuh! Demo dimana-mana

Sorak menyatu dalam riang anak-anak penjual suara yang rakus di jalanan,

Sedang lolong anjing kian sama dengan merdunya

Suara deru kendaraan jalanan yang yang minta makan,

Di lorong sempit ini

Janji di titahkan padaku, mempersunting bumi

Dan tengadah pada mata hati ini

Memuntahkan kata-kata

Dari kaca mata redup ini,

Sayup ucapan dalam kata-kata basi

Di kursi petinggi hendak mual –kami-

Rakyat berderai, gelimang rakus kekuasaan

Porak-porandalah sendi mati ini

Di kursi petingi,

dalam rapat-rapat suci yang memuntahkan kata-kata-;

Kata-kata basi

Mengobral janji pada negeri yang di pertelanjangkan

Di tengah haru biru dunia ini

Alangkah sendu,

Di kursi petingi dalam janji yang terus dimuntahkan;

Kata-kata basi

Pada kami, rakyat yang kehilangan harga diri

Padang, 2008

Dodi Prananda. Lahir di Padang16 Oktober 1993. Sangat mencinta dunia sastra. Berbagai karyanya sudah banyak dimuat di Haluan, Singgalang, dan media cetak lainnya. Sekarang sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah menengah atas. Tepatnya di SMA1 PADANG. Berharap karyanya bisa di muat di Koran nasional. Kini sedang di didik di sanggar sastra Pelangi.

cerpen hujan-hujan mungil dodi prananda

HUJAN-HUJAN MUNGIL

Oleh Dodi Prananda

Aku hanya menghabiskan waktuku dikamar seharian. Sedikit kubuka kaca jendela yang di singgahi butir-butir hujan yang kemudian menetes pelan ke bawah. Ku tutup lagi kaca jendela itu. Suasana yang membosankan.

Dingin masih merajai . Ngilu juga mencoba untuk merayap di tubuhku. Tiba-tiba terngiang di benakku akan cerita ayah tentang masa kecilku. Kisah kecilku yang sering berbasah kuyup sambil kedinginan bersama anak-anak kecil seusiaku.

Ayah juga pernah bilang begini “Hujan itu adalah sahabat kita. Kamu ayah ibaratkan hujan arogan, sedangkan Lulu, adekmu ayah ibaratkan hujan-hujan mungil, gerimis maksud ayah”.

Ucapan ayah semakin hafal dibenakku. Aku jadi teringat ayah. Semoga ayah pulang cepat dari kantor. Aku ingin mendengarkan cerita ayah lagi. Suatu hari ayah juga pernah bilang padaku tentang hujan itu.

“Kamu tahu kenapa kedua anak ayah penggila hujan?”ayah membuatku tertegun. Aku simak betul ucapan ayah barusan.

“Dulu sewaktu ibumu melahirkan kamu, saat itu bertepatan dengan musim penghujan. Sedang Lulu, adekmu juga. Barangkali itu yang membuat kalian berdua begitu suka pada hujan”.

Aku menutup kembali kenangan itu. Kembali ingatanku tertuju pada ayah. Sepi sekali tanpa ayah. Biasanya ayah menyuguhkan guyonannya di saat yang membosankan seperti ini. Hanya hujan yang menemani lamunanku. Tak ada yang lain. Suara kodok yang santer terdengar di senja seperti ini juga sudah tidak terdengar lagi. Mungkin di kalahkan oleh suara hujan yang begitu arogan, hingga membius kita akan suara yang terdengar di saban senja seperti ini. Bianglala juga enggan hadir. Burung-burung jengah, sudah saatnya mereka pulang ke kandang tapi terhalang. Jangkrik juga. Ah! Amboi! Sungguh hujan yang begitu membosankan.

Tanpa ku sadari wajah ibu hadir di depan pintu. Ibu menyuguhkan sepiring gorengan dan secangkir teh panas yang asapnya masih mengepul. Ibu menaruhnya di mejaku. Ibu tersenyum manis. Aku balas tersenyum. Perlahan ibu menghampiriku yang masih betah lungguh di ranjang.

“Kamu ingat siapa? Dari tadi pagi ibu tengok kamu cuma melamun saja”

“Aku ingat Lulu dan ayah Bu,”ucapku sambil mencomot sepotong gorengan yang masih hangat. Ibu berlalu dari hadapanku. Ibu menutup kembali pintu kamarku rapat-rapat tanpa mengundang bunyi sedikitpun. Sekoyong-konyong aku dikejutkan oleh suara dering ponselku yang membuat aku reflek terkejut. Suara ayah terdengar di seberang.

Ada apa, Yah? Tumben ayah menelfon”tanyaku pada ayah.

“Bilang pada ibu, ayah terjebak hujan dijalan. Kalau ayah meneruskan perjalanan itu sudah tidak mungkin. Hujan badai juga tak bersahabat. Jalanan licin sekali. Ini bukan hujan kita, juga bukan hujan-hujan mungil kepunyaan Lulu”

“Maksud ayah?”sekonyong-konyong pembicaraanku dengan ayah terputus begitu saja. Hatiku kian galau. Lebih galau lagi dari hujan yang turun semberaut. Jantungku terasa di pompa dahsyat. Darahku mendesir kilat. Kubuka lagi jendela. Hujan makin tak bersahabat. Hujan terasa membakar tubuhku di tengah hujan badai seperti ini.

Tanpa dikomando aku bergegas menemui ibu di belakang. Kulihat ibu merintih di dapur. Darah menetes di tangan ibu yang agaknya terkena sayatan pisau.

“Tam, tolong ambilkan ibu kapas dan obat merah,”perintah ibu dengan wajah pucat.

Mengapa jadi begini?. Suasana jadi berubah tidak menyenangkan. Hatiku masih berkecamuk, masih dibayang-bayangi dan di hantui oleh ucapan ayah tadi. “Semoga tidak terjadi apa-apa dengan ayah,”gumam batinku.

Belum rampung galau hatiku tentang ayah, sekarang ibu malah membuat hatiku kian berkecamuk. Apa pula yang terjadi pada ibu?.

“Bu, ini! Aku menyodorkan kapas dan obat merah. Ibu masih mengaduh kesakitan. Darah juga masih belum berhenti mengucur dari jemarinya.

Aku dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Siapa yang bertamu ditengah galau dan kacau-balau hatiku ini?. Ayah barangkali!.

Aku tercengang dengan mata terpana sambil mendongak pada wajah tamu yang datang. Ternyata Om Reza, rekan kerja ayah dikantor. Entah kenapa Om Reza memasang wajah panik bukan main. Ada raut kesedihan yang bisa kutangkap dari raut wajah dan gerak bibir Om Reza yang tiba-tiba kaku.

“Tama! Bilang pada ibumu kalau ayah kamu tadi kecelakaan. Om sudah melarang agar jangan nekat pulang di tengah cuaca badai seperti ini. Tapi ayah kamu keras kepala, pulang dengan alasan ia tak ingin hal yang buruk itu menimpa Lulu dan ibumu”ucap Om Reza dengan mengiba. Diriku terasa seperti di remukkan.

“Sekarang ayah ada dimanaOm?”suara parauku terdengar begitu pelan dan sayup.

Ada dirumah sakit”jawab Om Reza sambil menopang tubuhku yang tiba-tiba tersungkur di tubub Om Reza. Aku terjatuh dengan tubuh tak berdaya dan yang tidak aku tahu nyawaku sekarang entah berada dimana.

***

Sehabis melihat keadaan ayah yang sedang kritis di Rumah sakit, aku meminta Om Reza untuk mengantarkanku ke tempat Lulu yang sekarang berada di rumah nenek. Lulu memang sudah terbiasa di beri kasih sayang oleh nenek. Bahkan semenjak kecil nenek sering memberi perhatian pada Lulu sehingga keduanya sukar di pisahkan.

Sebenarnya aku tak ingin terjadi apa-apa dengan Lulu. Ucapan ayah yang terakhir kali, masih meraung dibenakku. “Ini bukan hujan kita”kalimat yang tak bisa kutafsirkan.

Malam makin larut. Lampu jalanan tinggal sisa keredupan. Semua terdengar samar. Hujan masih tetap membuas. Dingin. Ngilu. Ngilu sekali.

***

Lulu masih bermain dengan mimpinya. Sebelumnya nenek juga terkejut dengan kedatanganku di tengah larut malam dan hujan badai seperti ini. Kubelai rambut Lulu. Kukecup pipinya berkali-kali. “Semoga ia dapat nerasakan apa yang kurasakan sekarang, Semoga ia tahu kalau ayah yang sama-sama kita cintai sekarang sedang berada di rumah sakit.

Perhatianku dicuri oleh sebuah toples dan secarik kertas yang berada di sisi ranjang Lulu. Ada sebuah toples bertuliskan “Hujan-hujan mungil” yang berisi tetesan air yang menyerupai tetesan air embun. Aku membuka secarik kertas itu.

“Nenek, Lulu ingin pulang. Lulu takut ayah yang menimpanya. Lulu tak mau kehilangan ayah. Lulu tak ingin air mata Lulu bersatu dengan hujan-hujan mungil itu. Kalau ayah yang menimpanya dan ayah meninggalkan kami, siapa lagi yang akan mencarikan uang untuk sekolah Lulu?. Nek, Lulu ingin di samping ibu sebelum darah itu menetes dari jemari ibu. Nek, bawaLulu pulang secepatnya. Sebelum semua terlambat”.

Tanpa kusadari air mataku menetes pelan dari pipiku. Kugenggam tangan Lulu erat. Kupeluk dia seerat-eratnya. Aku makin dikejutkan oleh dering ponselku. Tubuhku bergoncang. Aku panik bukan main ketika dilayar ponselku tertera tulisan “Ibu memanggil”. Semoga saja ibu tidak menyampaikan berita duka itu. Berita duka tentang kepergian ayah, seperti yang ada dalam secarik kertas Lulu itu.

“Syukurlah Tam, ayah sudah siuman. Ayah tidak kenapa-napa. Cuma lecet diberapa bagian tubuhnya saja”suara ibu membuat hatiku begitu lega. Rasa girang yang teramat sangat membuncah di dasar jiwa.

Semua terasa disulap. Hujan yang tadi badai dan arogan, kini hanya bersisa gerimis, butir-butir hujan mungil. Lulu terjaga dari tidurnya. Ia memelukku dan melepaskan kerinduannya. Semua jadi berubah. Suasana malam yang sepi dan sunyi senyap terasa begitu damai. Aku beranjak ke arah jendela kamar Lulu dan memberinya celah.

“Lihat Lu, Hujan-hujan mungil. Ini mungkin hujan milik kita!”ucapku pada Lulu yang tak hentinya menyebut-nyebut kata-kata “Ayah…,Ayah…,Ayah…,pulang yah!. Sekian*** Padang ,1 Juli 2008 dalam hujan mungil yang merintih memanggil ayah.

CERPEN


SEPASANG MATA CINTA

Oleh Dodi Prananda

Kami hanya diam membisu. Tak ada kata. Tak ada bicara. Tak ada gumam. Tak ada suara di antara kami. Bukan karena kami belum saling kenal. Juga bukan karena kami masih lugu untuk berucap. Kami hanya butuh diam seperti ini.

Kami terhanyut dalam diam lirih. Mata sebelah memandang mataku. Kami saling tatap.Dia hanya tersenyum padaku. Aku balas tersenyum. Dia tertawa mungil. Aku juga. Setiap hal yang dia lakukan dapat di pastikan akan aku ulangi. Mungkin karena itu kami di beri julukan sepasang mata cinta.

“Kamu masih merasakan hangat malam ini?”Tanya mata sebelah.

“Tentu!. Kita bukankah sepasang mata yang tidak bisa di lepaskan dari satu pandangan!”begitu jawab mata sebelah.

Kami tersenyum kembali karena kami tahu malam ini punya kami. Kami, sepasang mata cinta.

Esok hari, mata sebelah mengekor di belakangku. Ia malu di lihat mata-mata yang lain. Kami mata yang masih sangat muda untuk mengenal cinta. Semalam kami juga berbisik pada bintang agar bintang bisa mendoakan kami untuk jadi sepasang mata. Ya, kami adalah sepasang mata yang tidak bisa di pisahkan.

***

Kami hanya diam membisu. Tak ada kata. Tak ada bicara. Tak ada gumam. Tak ada suara di antara kami. Bukan karena kami belum saling kenal. Juga bukan karena kami masih lugu untuk berucap. Kami hanya butuh diam seperti ini.

Dia hanya tersenyum padaku. Aku balas tersenyum. Dia tertawa mungil. Aku juga. Setiap hal yang dia lakukan dapat di pastikan akan aku ulangi. Mungkin karena itu kami di beri julukan sepasang mata cinta.

“Kamu masih merasakan hangat malam ini?”Tanya mata sebelah.

“Tentu!. Kita bukankah sepasang mata yang tidak bias di lepaskan dari satu pandangan!”begitu jawab mata sebelah.

Kami tersenyum kembali karena kami tahu malam ini punya kami. Kami, sepasang mata cinta.

Esok hari, mata sebelah mengekor di belakangku. Ia malu di lihat mata-mata yang lain. Kami mata yang masih sangat muda untuk mengenal cinta. Semalam kami juga berbisik pada bintang agar bintang bisa mendoakan kami utnk jadi sepasang mata. Ya, kami adalah sepasang mata yang tidak bisa di pisahkan.

***

Entah kenapa hari ini mata sebelah menangis. Ia hanya memperlihatkan air mungil yang jatuh dari matanya. Padahal kami hanya diam membisu. Tak ada kata. Tak ada bicara. Tak ada gumam. Tak ada suara di antara kami. Bukan karena kami belum saling kenal. Juga bukan karena kami masih lugu untuk berucap. Kami hanya butuh diam seperti ini.

Aku juga makin ragu. Aku tidak berkata kalau aku akan memutuskan cinta kita. Aku juga sudah mengatakan pada dia kalau kita adalah sepasang mata yang tidak bisa di pisahkan. Sepasang mata abadi.

“Bukankah kita tidak bisa di pisahkan? Lantas kenapa kamu masih saja menangis? Aku berjanji akan selaku menjadi mata di hatimu.

“Kau tahu kan, mata yang lain tidak suka melihat kita berdua, saling pandang tanpa kata-kata. Aku tak mau menjadi mata yang di mata-amati seperti ini”balas mata satu lagi.

Buram. Entahlah aku tidak tahu harus menjadi mata yang seperti apa. Aku sudah menjalanlan tugasku untuk menjadi mata yang abadi. Dengan dia si mata sebelah. Kami ragu. Hati kami kini mengabur.

Kami hanya diam membisu. Tak ada kata. Tak ada bicara. Tak ada gumam. Tak ada suara di antara kami. Bukan karena kami belum saling kenal. Juga bukan karena kami masih lugu untuk berucap. Kami hanya butuh diam seperti ini. Entahlah entah sampai kapan kami akan seperti ini, Kami hanya diam membisu. Tak ada kata. Tak ada bicara. Tak ada gumam. Tak ada suara di antara kami. Bukan karena kami belum saling kenal. Juga bukan karena kami masih lugu untuk berucap. Kami hanya butuh diam seperti ini. Sekian.***