Dodi Prananda, lahir di Padang 16 Oktober 1993. Studi di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Menulis satu buku kumpulan puisi dan puluhan antologi bersama. Folllow: @pranandadodi dan Kunjungi: www.dodiprananda.wordpress.com
Rabu, 11 Mei 2011
Suguhan Fiksi Surealis yang Fantastis dan Romantis
Judul buku : Dongeng Afrizal
Pengarang : Pringadi Abdi Surya
Penyunting : Benny Arnas
Penyelaras Bahasa : Salahuddien Gz
Pemindai Aksara : Khrisna Pabichara
Penerbit : Kayla Pustaka
Cetakan : I, 2011
Harga : Rp.39.000,-
Setelah sukses dengan buku kumpulan puisi tunggalnya, Alusi (Pustaka Pujangga, 2009), Pringadi Abdi Surya menyapa publik ranah sastra Indonesia dengan sebuah buku kumpulan cerpen tunggalnya, Dongeng Afrizal (Kayla Pustaka). Sebagai seorang penulis muda Indonesia, Pringadi terbilang produktif dalam menulis cerpen dan puisi di media nasional dan lokal-nasional seperti Suara Merdeka, Jurnal Bogor, Harian Global, Sumatera Ekspres, Padang Ekspres, hingga Berita Pagi.
Buku ini menghimpun 15 cerpen Pringadi yang pernah dipublikan di pelbagai media di Indonesia. Hampir sebagian dari cerpen dalam buku Dongeng Afrizal ini, Pringadi mengusung genre fiksi surealias yang mengedepankan kisah-kisah fantastis yang absur tetapi dibalut dengan hal-hal yang menyentuh perasaan manusia dengan sisi romantis yang pas. Beberapa kisah fantastis itu tersaji dalam cerpen-cerpen seperti Surat Kedelapan, Resital Kupu-Kupu, Seseorang dengan Agenda di Tubuhnya, Macondo,Melankolia, Setan di Kepala Ibu, Domba-domba dalam Suratmu, Djibril dan Aku, Tuan,Nyonya dan Cerita di Balik Kartu Pos, Satu Cerita tntang Cerita yang Tak Pernah Kuceritakan Sebelumnya, Vaginalia, Dongeng Afrizal, Dongeng Ikarus, Pareidolia, Fiksimaksi:Tuhan dan Racauan yang Tak Tuntas, dan Senja Terakhir di Dunia.
Balutan kisah surealis yang disuguhkan secara romantis kental terasa pada cerpen Surat Kedelapan. Pringadi menawarkan kisah yang dibalut secara unik, romantis dan akhir cerita yang menyentak. Cerita bermula tentang seorang aku yang mempunyai koleksi tujuh surat cinta yang belum sempat diberikannya kepada Zane, kekasih yang merupakan istrinya. Hingga kemudian tanpa sengaja ketika ia membaca ulang semua surat itu, ia melihat sebuah figura yang didalamnya ada jawaban atas semua surat yang belum sempat dikirimkan kepada Zane. Pringadi terlihat sangat sukses dalam menggarap cerpen Surat Kedelapan ini, hal ini terlihat dari begitu sabarnya Pringadi dalam menulis cerita ini sehingga emosi yang terkumpul dalam penulisan cerpen ini dengan mudah ditransfer kepada pembaca. Kendatipun unggul pada bahasa tutur aku yang sangat berkaitan dengan emosi pembaca, cerpen Surat Kedelapan ini mengingatkan kita dengan gaya tutur Seno Gumira Ajidarma dalam beberapa cerpennya yang mengusung konsep surealis serupa yaitu Alina dan Sukab. Ditambah dengan adanya tokoh Sukab dan Zane yang mengingat pada tokoh perempuan yang kerap dihadirkan Seno dalam kebanyakan cerpennya.
Kelihaian Pringadi dalam membangun suspense (ketegangan) dalam cerpen-cerpennya juga terlihat dalam cerpen Resital Kupu-Kupu. Cerpen ini bermula dengan tiga hal yang tidak ingin dilakukan tokoh aku. Pertama, memakai dasi kupu-kupu yang selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa kematian sahabatnya yang ditabrak truk ketika ia memegang kupu-kupu. Kedua, ketakutan tokoh aku pada kupu-kupu dan terakhir yaitu menceritakan semua hal yang dianggapnya sebagai sebuah rahasia kepada oranglain. Tanpa disadari, pembaca terhipnotis dalam alam khayal dan imajinasi Pringadi melalui cerita yang sangat absurd tersebut.
Pada sisi lain, Pringadi juga menyuguhkan sentilan-sentilan yang bersifat satir pada cerpen Seorang dengan Agena di Tubuhnya. Pringadi memilih gaya tutur Solilokui, yaitu bahasa tutur aku yang didomonasi pada narasi aku hingga akhir cerita tanpa melibatkan tokoh lain pada segmen dialog dan kalimat langsung. Ada sentilan yang dialamatkan pada aparat kepolisian dalam cerpen ini seperti yang terlihat dalam kutipan berikut “…dia seorang anak yang bercita-cita menjadi polisi. Saya geli dengan profesi yang satu ini. Baru kemarin saya kecurian. Kemudian saya ke kantor polisi melakukan pelaporan. Bukan bantuan yang saya dapatkan, saya malah dimintai biaya dua ratus ribu dengan alasan administrasi…(hal 30).
Sentilan yang lebih ekstrem pun terdapat pada kalimat “..daripada merekaditangkap polisi lebih baik mereka menjadi polisi..”. Cerpen ini sarat akan penceritaan terhadap tekanan batin yang dialami oleh tokoh aku yang merupakan anak seorang pelacur. Ia kerap diolok, dipandang sebelah mata bahkan kerap menjadi bahan gunjingan. Pelabelan sosial terhadap dirinya, semakin jauh membuat ia semakin dideskeditkan. Cerita ini berakhir dengan antiklimaks dimana ibu tokoh aku bunuh diri, diluar hal itu, diceritakan bahwa yang membuhnuh ibu adalah anaknya sendiri karena ibu telah berbohong padanya.
Cerpen-cerpen lain dalam buku ini banyak mengundang misteri, tanda tanya bahkan emosi yang diaduk-aduk oleh keliahaian Pringadi dalam menaik-turunkank suspense cerita. Buku ini menjawab kerinduan pembaca sastra Indonesia akan karya-karya surealis yang sarat mutu, seperti cerpen-cerpen yang dihadirkan Seno Gumira Ajidarma, Agus Noor, Dewi Ria Utari hingga sederet cerpenis yang concern pada penulisan fiksi bergenre surealis. Buku ini wajib Anda miliki sebagai koleksi buku fiksi berkualitas Anda. (Dodi Prananda)
Tulisan ini telah dimuat di Harian Singgalang, 8 Mei 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)