Sabtu, 05 Maret 2011

Menjelajahi Rumah Fiksi Linda Christanty Nan Mencekam


Judul Buku : Rahasia Selma (Kumpulan Cerita)
Penulis : Linda Christanty
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, April 2010
Halaman : 130 halaman
ISBN : 978-979-22565-6-7
Harga : Rp.30.000
Peresensi : Dodi Prananda





Linda Christanty memang tidak hanya menunjukkan kiprah yang baik di dunia jurnalis. Ia juga cukup tersohor atas kiprah menulisnya. Di dunia kepenulisan prosa, tahun 2004 silam Linda Christanty hadir dengan Kuda Terbang Maria Pinto, buku yang meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2004. Kini, Linda hadir kembali menyapa para penikmat sastra Indonesia melalui sebuah buku kumpulan cerpen yang memikat bertajuk Rahasia Selma.

Rahasia Selma merupakan salah satu judul cerita yang termaktub dalam buku ini. Setidaknya dalam buku ini terdapat sebelas judul cerpen, delapan diantaranya telah dipublikasikan di media massa nasional seperti Koran Tempo, Media Indonesia dan Demos. Cerpen-cerpen yang termaktub dalam buku ini yaitu Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Kupu-Kupu Merah Jambu, Mercusuar, Rahasia Selma, Kesedihan, Drama, Para Pencerita, Jazirah di Utara, Ingatan dan Babe.

Dari semua judul itu, hanya empat cerita yang belum dipublikasikan dengan kata lain merupakan karya manuskrip yang sengaja dimasukkan dalam buku ini untuk melengkapi jumlah cerpen. Lima cerita dalam buku ini, telah dipublikasikan di Koran Tempo antara kurun waktu 2005-2010, yakni Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Drama, Jazirah di Utara, dan Kesedihan. Tiga cerita diterbitkan di Media Indonesia dan Demos, serta tiga lainnya, Rahasia Selma, Ingatan, dan Babe, belum pernah diterbitkan di media cetak.

Melihat penampilan fisik buku, barangkali pembaca akan dibuat terkesan. Secara sampul, buku Rahasia Selma terbilang menarik. Pasalnya, ada sebuah komposisi ilustrasi yang dikemas dengan gambar yang menarik. Linda mengusung gambar kaki anak-anak yang mengenakan kaus kaki warna hijau dengan motif bunga-bunga. Anak tersebut tampak memakai sandal warna hitam. Gambar kaki seorang anak-anak tersebut dipadu dengan background warna oranye pudar. Apabila kita cermati, sekilas konsep sampul yang diusung Linda dalam buku ini memang agak mirip dengan konsep yang diketengahkan oleh buku karangan Vladimir Nabokov berjudul Lolita.

Buku Vladimir tersebut juga mengangkat konsep sampul yang agak mirip dengan buku Rahasia Selma ini. Namun, ada hal yang jauh berbeda diantara keduanya. Lolita dibuat dengan kesan menonjolkan kesedihan, terlihat melalui pemilihan warna hitam putih yang mendominasi. Sedangkan Rahasia Selma cenderung terkesan lebih ngejreng, dengan paduan warna-warna hidup. Perbedaan kedua terlihat dari cara berdiri sang tokoh anak-anak. Kalau dalam buku Lolita, pada sampulnya terlihat kaki anak-anak yang berdiri dengan pose kaki kanan yang agak sedikit ditekuk ke depan. Berbeda dengan Rahasa Selma, justru sang anak berdiri lurus tegak, dengan sepasang sepatu menghadap lurus.

Secara implisit, ada maksud yang ingin disampaikan Linda atas pemilihan konsep sampul seperti itu. Apabila kita telusuri lebih jauh, khususnya dalam cerpen Rahasia Selma, kita dibuat melalang buana ke dunia Selma, seorang anak yang ingin banyak tahu tentang dunia luar. Atas rasa keingintahuannya itulah, secara sembunyi-sembunyi Selma melakukan perjalanan tanpa diketahui siapapun. Termasuk Ibu Selma sendiri.
Kalau kita sadari, apa yang membuat Selma melakukan semua itu? Ingin tahu dunia luar, melakukan perjalanan itu secara diam-diam? Ya, kesepianlah yang mensugesti dan memberikan stimulus pada Selma sehingga bocah itu diam-diam pergi tanpa sepengetahuan Ibunya. Banyak diantara cerpen-cerpen Linda yang menonjolkan kesepian-kesepian yang mengungkung para tokohnya. Sama halnya pada cerpen Rahasia Selma itu. Maka, apabila dikaitkan pada sampul buku, terlihat sebuah gambaran betapa ingin tahunya anak-anak terhadap dunia luar – sebagai akibat kesepian yang melandanya—dan diekspresikan melalui gambar kaki anak-anak itu. Desain sampul yang menawan itu adalah hasil racikan Mirna Yulistianti dengan mengadopsi foto yang bersumber dari Shutterstock dan pensettingan oleh Malikas.

Masih soal sampul, kali ini sampul bagian belakang, Linda masih menyuguhkan hal yang sama seperti buku yang sebelumnya. Paling kentara terlihat dari tulisan endhorsement yang ditulis oleh endhoserser yang sama. Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, dan Nirwan Dewanto adalah tiga nama sastrawan Indonesia (penyair) yang diminta menjadi endhorser pada buku ini – juga pada buku-buku Linda terdahulu—
Salah satunya Sapardi, yang menilai bahwa cerita-cerita yang ditulis Linda membuat ia membayangkan perkembangan cerita pendek Indonesia di masa datang. Sedangkan Nirwan – Redaktur Sastra dan Budaya Koran Tempo yang juga penyair—justru menyebutkan Linda mampu cerita-cerita yang mengusung aliran realisme yang mencekam, justru karena antididaktik.

Lain dengan Sutardji, menilai bahwa Linda menampilkan tema kemanusian tanpa menyerahkan sastra ke bawah telapak kaki penindasan pesan. Pertanyaan yang muncul, adakah alasan tersendiri bagi Linda atas pilihannya menayangkan endhorsement dari ketiga sastrawan yang justru punya background penyair alias penulis puisi? Atau apakah hal ini mungkin ini cara tersendiri bagi Linda untuk menarik pembaca atas penilaian ketiga endhorser yang namanya besar di dunia puisi Indonesia tersebut?
Diantara banyak cerita, ditilik dari segi latar, Linda cenderung memilih rumah sebagai latar yang paling dominan. Maka itulah, alasan penulis memberi judul resensi ini dengan ‘Menjelajahi Rumah Fiksi Linda Cristanty yang Mencekam’ dengan alasan rumah adalah latar yang paling sering digunakan Linda dalam bercerita.

Rahasia Selma (hal.51) misalnya. Deskripsi yang kuat di awal, tentang suasana kehidupan Selma di rumahnya. Berikut petikan awal pembuka cerpen “Selma tidak lagi merasa sepi atau sendirian seperti sebelumnya. Ibu mengizinkannya memelihara kura-kura, bukan cuma seekor, tapi ribuan. Kura-kura mengelilinginya, berlapis-lapis seperti benteng di halaman rumahnya sendiri. Ia berbaring di sofa biru yang sengaja diletakkan di bawah pohon mangga itu, sementara ribuan kura-kura menjejak hamparan rumput hijau…”

Selanjutnya, Pohon Kersen (hal.5), Linda masih menggambil setting tempat di sebuah rumah yang ada Pohon Kersem di halamannya. Perhatikanlah cuplikan pembuka cerpen tersebut “Rumah kami menghadap pantai. Namun, pantai tak terlihat dari jendela-jendela yang terbuka. Pantai belum juga tampak ketika aku berdiri tegak di halaman pasir dan telapak kakiku yang telanjang …” dan diantara itu cerpen Kesedihan (hal.65) dan Menunggu Ibu (hal.15) masih juga berlatar rumah, tentu saja dengan kesepian masing-masing tokohnya, kendati pada dua cerpen itu penggambaran rumah tidak begitu ditonjolkan ketimbang cerpen Pohon Kersem dan Rahasia Selma.

Dilihat dari cara penutuan deskripsi, Linda terbilang penulis yang mampu mendeskripsikan sesuatu hal dengan kuat. Meski dengan bahasa sehari-hari, tak membuat deskripsi jauh dari kesan estetika yang apik. Sebab, Linda mampu menghadirkan kelincahan berbahasa deskripsi. Bahkan, ketika hendak memulai cerita baru, Linda memperhatikan penggambaran deskripsi mulai dari suasana, tempat secara merinci atau detail. Hanya deskripsi waktu yang tidak begitu ditonjolkan. Hal tersebut bisa kita lihat pada dua cuplikan pembuka pada cerpen yang penulis kutip, Rahasia Selma dan Pohon Kersen.

Ditinjau dari segmen ide cerita, diantara kesebelas cerpen dalam buku Rahasia Selma ini bisa dibilang berangkat dari cerita keseharian manusia. Linda kerap mengangkat tokoh-tokoh yang dililit oleh kesepian, kekelaman, kemuraman, kedukaan dan sebagainya. Hampir semua cerita, hadir dengan tokoh yang punya problema kesepian masing-masing, tapi dengan versi yang berbeda.

Seperti kita dapati dalam cerpen “Pohon Kersen”—cerpen pembuka dalam kumpulan Rahasia Selma ini—di mana tokoh “aku”, sorang anak perempuan yang hidup dalam sebuah keluarga yang tampaknya berbahagia, penuh keceriaan, pengertian, namun ternyata memendam suatu permasalahan yang sangat personal. Bang Husni, cucu angkat Kakek yang tinggal serumah dengan keluarganya, melecehkan tokoh “aku” secara seksual yang menyebabkan “aku” sukar buang air kecil pada keesokan harinya. Perhatikanlah kutipan cerpen Pohon Kersen tersebut: “Tubuhku panas, sepertinya demam. “Pohon kersen itu jangan ditebang,” pintaku pada kakek. Kakek meraba dahiku. “Kita lihat nanti,” jawabnya. Sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku menangis. Apakah kakek mengetahuinya? (Hal. 11)

Begitulah Linda menghadirkan sebuah pengalamana penistaan yang kerap dilakukan oleh orang-orang yang berada dilingkungan terdekat. Akan tetapi, tokoh ‘aku’ dalam cerpen Pohon Kersen tersebut punya cara lain agar ia bisa mengalihkan pikirannya terhadap kekelaman itu. ‘Aku’ mengalihkannya pada pohon kersen di halaman rumahnya yang pada musim tertentu melulu dirimbuni ulat dan akan ditebang itu. Pohon kersen yang di atasnya ingin dibangunnya sebuah rumah pohon, agar “aku” tak perlu ke kamar mandi setiap malam ketika kepingin buang air kecil—kebiasaan yang dimanfaatkan Bang Husni untuk merayu dan kemudian “melecehkannya”.

Kekelaman, kemuraman, kedukaan versi lain juga dihadirkan melalui cerpen Kupu-Kupu Merah Jambu. Pada cerita ini, Linda seperti ingin mengatakan tidak selamanya pula perempuan dijadikan objek pelecehan sebagaimana yang dialami tokoh aku dalam cerpen Pohon Kersen. Pada cerpen Kupu-Kupu Merah Jambu Linda justru mematahkan anggapan tidak selamanya perempuan yang jadi korban, lelaki pun bisa dijadikan objek pelecahan. Kali ini, bukan seorang Bang Husin (orang yang melecahkan tokoh aku dalam cerpen Pohon Kersen) yang notabenenya adalah orang biasa. Melainkan oleh seorang guru mengaji yang kerap menghukum anak didiknya yang tidak dapat menghafalkan atau salah melafalkan ayat Al-Quran. Pelecehan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap anak didiknya adalah sebuah realitas yang juga dapat kita saksikan di layar televisi kita.

Guru mengajinya menghukum murid laki-laki maupun perempuan di kamar gelap tiap kali mereka salah melafalkan ayat. Akibat hukuman itu ia sukar buang air besar berminggu-minggu. Dua teman perempuannya tidak datang mengaji lagi. Orang-orang kampung berbisik-bisik keduanya hamil gara-gara tidak sanggup mengucap ayat-ayat suci dengan benar. “Sebaik-baiknya hukuman lebih baik datang dari manusia sebelum hukuman dari Allah yang lebih dahsyat itu membakar dan memanggang kamu semua di api neraka,” kata sang guru, dengan suara diseram-seramkan..” (Hal. 34)

Begitulah Linda hadir di tengah khasanah sastra Indonesia dengan memunculkan cerita-cerita yang muncul atas fenomena kelam yang hadir di kehidupan kita. Kehidupan masyarakat kita yang di dalamnya terdapat beragam problema sosial sampai problema personal yang mungkin tidak akan diketahui oleh orang lain. Buku Rahasia Selma ini di tahun 2010 lalu juga meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2010 untuk kategori buku prosa. Barangkali, buku ini bisa menjadi buku yang akan menambah koleksi buku fiksi Anda. Selamat menjelajahi rumah fiksi Linda Christanty yang mencekam.


-----------------------------
Dodi Prananda lahir di Padang, Sumatra Barat. Menulis cerpen, puisi, dan artikel yang dimuat di berbagai media Sumatra Barat dan Jakarta. Cerpennya Perempuan Simpang masuk dalam Antologi ‘Sehadapan’ (Rayakultura Press, 2010) Antologi Peraih Anugerah Lipe Ice Selsun Golden Award 2010, Antologi Misteri Tas Merah Jambu (Kompas Gramedia, 2010) dan Negeri Kesunda (Antologi Pemenang Lomba Cerpen IAIN Imam Bonjol Se-Indonesia). Aktif berkegiatan di Yayasan Citra Budaya Indonesia – Sumatra Barat, Sanggar Sastra Pelangi Padang.

Dua Potong Sajak untuk Dua Sosok

Sosok Satu:
Bapak Jufril Siry




Dalam mendung kita bersenandung
membiarkan semua gelisah dalam macet panjang
dalam puing-puing September yang masih menyisa luka sepanjang Desember
pun dalam bayang-bayang kita dalam perang dingin, sayang
oh, tiada kita ingin menutup lama-lama mata ini
sementara di luar jendela, orang-orang sibuk soal relokasi
membicarakan ikhwal kota kita yang dipindahkan dalam badai
memindahkan kenangan-kenangan kita ke poros lain
pun telah memindahkan mimpi-mimpi kita diantara puing-puing
yang berserak sepanjang September hingga Desember
pun dalam suara-suara sumbang, dan pemberontakan anti relokasi...


Pun pada akhirnya kita enggan membiarkan gerimis
keburu jatuh dipelukan hujan
sehingga dengan suara riuh rendah kita memindahkan kota kita
di atas segala kenangan yang manis
dan telah kupindahkan potong-potong mimpi dari negeri Sudirman
yang menggersang dalam asap-asap bis kota, dalam lumur bau bangkai, dalam
ribuan sampah yang membangun istana paling megah dari pasar raya
dalam keremangan pun kenistaan tentang sakit hati bila kita melihat
hujan yang begitu punya hasrat besar dan rakus menjilati gerimis

dan di antara puing-puing rumah mimpi saudara-saudara lain
yang mencingkuk di bawah tenda dengan buku-buku yang becek di meja
kita memindahkan kota kita, katanya, kata sosok itu kota kita
mesti dipindahkan, sebelum badai-badai
benar-benar datang dan memporak-porandakan marwah kota kita
sebelum pada akhirnya gerimis telah dipeluk cangap hujan
sebelum pada akhirnya asap-asap dan kobar api kebakaran telah membubung dari langit-langit kota kita

pun kita telah memindahkan Sudirman, kota dimana kita pernah merajut roman-roman cinta
kota dimana kita telah menjadi dewasa dalam badai yang terus menceracau
angin dan lengkisau yang mengkikis nostalgia

lalu pindahlah kota kita karenanya, sebelum hujan belum benar-benar lebat sayang
kini kita telah mendiami kota baru kita
dimana gerimis terasa begitu manis
langit terasa begitu cantik kita pasang pada figura
dimana marwah di atas segalanya
inilah kota kita sayang...
kota untuk kita bersama-sama membangun mimpi baru
dan istana masa depan telah terlihat atapnya sayang...


Sosok Dua:
Bapak Ramadansyah





Kota kita masih dalam tidur semalam, tetapi kau sudah lebih dulu
membangunkan para penghuni kota yang masih tertidur
dengan piyama kotak-kotak, dan katup mata yang belum sempurna terbuka

Oh, itulah sepotong mimpi kita sebelum pada akhirnya kita sampai
sesak nafas di depan beranda kota kita, mengejar-ngejar impian
yang datang telat, atau kesaksian tentang masa depan yang kadang alfa, tanpa sebab

Oh, kita begitu kencang berlari dalam gelak paling istimewa
dalam kata-kata 'siswa' kita terus mencapai titik paling tinggi
dan titik paling luar biasa, meski kita saling tersungkur dan ambruk ke tanah
Betapa tawa dan ujaran telah menyulap kita menjadi saling satu,

Dengan safari dan sesuatu yang terlihat sangat spesial di wajahmu
Kita sama-sama bercerita tentang mimpi dan impian
tentang ornamen kota kita
tentang bagaimana semestinya kita menciptakan tawa-tawa
yang lebih hangat dan segar setiap senayan..

Sekoyong-konyong terbayang kenangan kala kita melintas sungai itu
ketika menyadari sungai ada yang dalam oh siswa, oh siswa
begitu tenang, kami tak menyadari kami telah berenang pada sungai yang dalam
pada sungai yang memiliki ketenagan, petuah-petuah, dan nasihat-nasihat yang begitu pekat
dan kami enggan pulang, dan ingin selalu, mencelupkan diri kami dalam sungai ini
oh Bapak, biarlah kami berenang dalam sungai itu...
sebelum pada akhirnya kami benar-benar telah terhanyut
dalam dirimu...




----------------------
Dodi Prananda lahir di Padang, Sumatra Barat. Menulis cerpen, puisi, dan artikel yang dimuat di berbagai media Sumatra Barat dan Jakarta. Cerpennya Perempuan Simpang masuk dalam Antologi ‘Sehadapan’ (Rayakultura Press, 2010) Antologi Peraih Anugerah Lipe Ice Selsun Golden Award 2010, Antologi Misteri Tas Merah Jambu (Kompas Gramedia, 2010) dan Negeri Kesunda (Antologi Pemenang Lomba Cerpen IAIN Imam Bonjol Se-Indonesia). Aktif berkegiatan di Yayasan Citra Budaya Indonesia – Sumatra Barat, Sanggar Sastra Pelangi Padang.



Catatan :

Puisi ini secara khusus didedikasikan untuk Bapak Drs.Jufril Siry, M.M (Kepala SMA 1 Padang, sejak 2008 s.d. sekarang) dan Bapak Drs.Ramadansyah, M.Pd (Wakil Kesiswaan, Papa tercinta, Papa dalam banyak hal..).

Sebuah Cerita: Perjalanan Lahirnya Isabela di Sekolah Kita


Adalah sebuah ketidaksengajaan, Ibu Amriati (Pokja Sarana dan Guru Geografi) meminta kami: Dodi Prananda, Efri Mulia Yusli, Eka Permana Putra, Batara Pareto Deddi dan Bramosh untuk menemui beliau di ruang kurikulum. Bertanya-tanya hati kami ketika tengah asyik berpetualang di dunia maya dan menerima permintaan menuju ruang kurikulum. Memang bukan kesengajaan pula, kami berempat hari itu duduk bagai berbaris dengan rapi di lobi utama SMA 1 dan menikmati fasilitas wifi melalui laptop yang menyala sejak usai beraktivitas di sekolah. Tapi, satu hal yang tidak kami pungkiri, aktivitas demikian kami jalanai bagai sebuah kebiasaan (usage) yang sudah merutin dan dilakukan tanpa unsur kesengajaan. Muara kami adalah di lobi, karena disanalah biasanya kami menikmati fasilitas free wifi sekolah kita pun karena ketersediaan colokan listrik di sana.

Maka, ketika Bu Am memanggil kami dengan panggilan yang terdengar serius dari lantai dua, kami menemui beliau dan bergegas menuju lantai dua. Pun bertanya-tanya lagi hati kami lagi: ada apakah ini? Sebuah panggilan untuk sebuah permintaan tolongkah, sebagaimana biasa Bu Am ingin meminta siswanya ketika ia butuh bantuan. Maka, kami berempat seraya berjalan menuju ke sana, berkelakar kecil sambil menebak-nebak. Efri dengan tawanya yang khas menebak suruhan apakah yang akan dialamatkan pada kami berempat.

Dengan pertanyaan yang bergumpal di benak kami, kami sampai di hadapan guru berkulit putih itu. Beliau melempar senyum kepada kami berempat. Kelompok Pecinta sekolah: begitulah beliau memanggil kami. Keranjingan berlama-lama di sekolah (sekalipun tidak ada aktivitas yang begitu berarti) bagai telah menyulap kami mendapat julukan demikian. Maka kami pun berinisiatif melempar tanya sebelum guru kami itu menerangkan maksud panggilannya. Kami saling berlirikan, sebelum pada akhirnya diterangkan pada maksud pemanggilan itu.

Dan tanpa kami sadari pula, keberadaan kami (atas panggilan) itu (sungguh tidak sengaja pula) telah mewakili posisi-posisi yang bisa dibilang telah merepresentasikan posisi yang urgen masing-masing di setiap bidangnya. Efri misalnya, ia Mantan Ketua OSIS 2009 s.d 2010, saya pelajar yang dikenal kualifikatif dalam dunia media setelah merampungkan pengembanan tugas sebagai Pimpinan Redaksi Media SMANSA 2009 s.d. 2010. Lalu, Eka, aktivis OSIS dan pesohor karate di SMA 1, lalu Bram. Mungkin, indikasi ini pula yang telah menjadi landasan kenapa pada akhirnya Bu Am memanggil kami. Mungkin, dalam asumsi kami keberagaman posisi yang bisa dibilang urgen yang pernah kami emban, menjadi alasan Bu Am telah memuarakan permintaan bantuan tersebut pada kami.


Lalu kami menuju ruang kurikulum. Di sana, Bu Mailendra (guru Bahasa Indonesia) sudah menyambut kami dengan senyum renyahnya. Terasa oleh kami dibawa dalam suasana tawa yang sering kami dapatkan ketika kami bertemu dengan beliau. Selain dekat dengan banyak siswa, kami memang simpatik pada karakter Bu Len (demikian guru berkacamata itu akrab disapa), yang dikenal sangat ramah itu. Hingga pada akhirnya beliau mulai menjelaskan.Pelan. Perlahan. Detail informasi, pun semua hal berkenaan atas pemanggilan itu. Maka dengan mudah kami menyimpulkan: maksud pemanggilan tersebut adala prihal permintaan bantuan untuk mencarikan sebuah kata jargon, motto atau slogan yang akan dijadikan kata yang spontan (atau reflek) membuat setiap siswa memungut sampah ketika sekonyong-konyong melihat sampah di sekitarnya. Kesimpulan lainnya, sekolah kita tengah dicalonkan oleh Bapedalda untuk meraih Adiwiyata. Kami pun diberi bayangan atau semacam pemantik inspirasi untuk menemukan nama itu. "SMP 24 misalnya, ada motto Lisa. Lihat sampah langsung ambil," begitu Bu Len menerangkan pada kami keberadaan SMP 24 yang pernah meraih pengharaan Adiwiyata, sekolah berbudaya lingkungan. Maka, salah satu indikator nantinya, sekolah kita pun harus punya jargon serupa yang akan dibudayakan menjadi kata seru yang membuat saban siswa reflek memungut sampah, lalu membuang sampah di tempatnya.


Hingga akhirnya kami diberi waktu satu jam untuk berhembuk mencari nama itu. Bahkan ketika kami hendak turun kembali ke lobi untuk mencari inspirasi, otak kami terus kami paksa untuk mencari kata itu. Kata yang diinginkan oleh kedua guru kami yang sudah kehabisan akal untuk mencari nama itu. Sudah berjalan berpuluh menit, hingga pada akhirnya enam puluh menit telah kami kunyah-kunyah dalam pencarian itu. Malangnya, belum satupun jua kami temukan kata yang tepat, setelah mengulang-ulang menumbuhkan inspirasi melalui pemantik inspirasi (LISA ala SMP 24), berputar-putar di ranah inspirasi media maya, lalu membolak-balik buku, berpindah-pindah halaman pencarian melalui jendela Google. Pada akhirnya yang bersisa adalah tawa-tawa yang diselubungi pikiran berat mencari nama yang tepat. Tak ada jua nama itu. Ada rasa putus asa untuk segera merampungkan pencarian itu, lalu memberikan alasan bahwa kami belum berhasil membantu beliau. Hingga, waktu yang kami sadari berjalan begitu cepat telah memaksa kami untuk memberikan tiga alternatif nama yang kami tuliskan dalam secarik kertas. Pertama racikan Efri, setelah si 'jagoan' Matematika itu berpikir begitu keras mencari nama. Kedua, racikan Eka, dan terakhir racikan saya.


Lalu secarik kertas itu kami sodorkan pada Bu Am. Kami berempat saling berpandangan ketika secarik kertas itu kami sadari telah berada di tangan putih Bu Am. Ada rasa belum puas dalam diri kami. Sehingga kami belum berpikir maksimal, belum memaksa otak kami berpikir lebih keras lagi, sehingga yang ada hanya tertawa kami berempat ketika Bu Am bahagia dengan sinar bola mata yang berbinar-binar dengan apa yang kami tuliskan dalam secarik kertas itu.

***

Sungguh, tidak ada melintas sedikitpun kejadian seperti ini dalam diri kami berempat. Kata yang telah kami temukan itu, begitu cepat digembar-gemborkan, disosialiasasikan, di budayakan, pun yang lainnya. Jumat, 25 Februari, secara formal, nama itu disebutkan di tengah khalayak SMA 1 Padang. Melalui mikrofon di lobi utama yang memancar suaranya di saban kelas dan di seluruh penjuru, Bapak Drs.Jufril Siry, M.M dengan lugas mendeklrasikan kelahiran nama itu dan pernyataan bahwa SMA 1 Padang one step ahead dan berjuang sepenuh daya dan upaya untuk mampu mengantongi penghargaan bergengsi bagi sekolah berbudaya lingkungan se Indonesia. Begitu pula announcer berbahasa Inggris yang kami yakini perwakilan dari Bidang 10 OSIS, menyampaikan informasi urgensif tersebut melalui pengeras suara yang suaranya terdengar di semua kelas mengenai hal tersebut. Pun selebaran yang ditempel di dinding-dinding sekolah.

Sontak, kami yang telah membidani kelahiran nama itu agak sedikit 'kaget'. Semula, kami tidak pernah membayangkan akan begitu cepatnya nama itu membumi, baik dalam konteks sambutan positif ataupun satiran negatif. Adapula kekecawaan. Kritikan. Penyanyangan kenapa pada akhirnya nama itu pula yang terpilih sebagai jargon, motto, atau slogan seruan yang akan dijadikan kata seruan untuk membuat siswa secara otomatis memungut sampah lalu membuangnya. Ada pula suara-suara ganjil yang menyampaikan rasa skeptis (yang secara tersirat kami membaca dialamatkan pada kami sebagai founding father atas nama itu), bahwa layakkah nama itu dipakai sebagai jargon dll tersebut? Adapula pertanyaan; kok mesti Isabela? Adapula suara-suara sumbang yang menyatakan bagai 'ketidaknyamanan' lahirnya Isabela di sekolah kita. Terlepas dari itu semua, kami sebagai panitia kecil yang telah membidangi kelahiran Isabela di sekolah kita menyampaikan kalimat 'Selamat datang Isabela , semoga selalu dikenang di benak siswa-siswa'. Pun kami sangat berharap, nama itu akan memorable dan bisa menjadi keotomatisan memungut sampah yang ada di sekitar kita bila nama itu disebut. Terakhir, kami sedikit memberi klarifikasi, bahwa sebelumnya kami menulis Isabel sebagai akronim untuk 'Itu Sampah Ambil Buang Demi Kebersihan Sekolah', yang pada akhirnya dikerucutkan menjadi Itu Sampah Ambil Buang Demi Sekolah, dengan dalih mentaati kaidah EyD untuk penulisan akronim tidak beraturan.

Hingga kini pun, masih terngiang-ngiang seloroh kami dengan Bu Len, "Bu, Isabela itu adiknya Lisa.." Ha..haa...ha....[ ]

Padang, 25 Februari 2011
Atas nama warga SMA 1 Padang


Dodi Prananda
(mewakili Efri, Eka dan Bram)