KUPU-KUPU
Oleh Dodi Prananda
Aku hanya diam melihat kupu-kupuku terluka. Hening. Tak ada suara yang mengalir dari mulut kupuku. Aku sudah mengatakan akan memberikan kupuku sayap, sayap yang membuat ia dapat terbang dari satu ilalang menuju bunga-bunga yang kuncup. Ia akan membuat mekar.
“Aku sudah kehilangan sayapku. Aku tak tahu dengan apa aku akan terbang lagi menggapai impianku untuk jadi kupu-kupu” ucapnya pelan dengan suara agak parau.
“Tidak kupuku, Aku akan memberikan sayap buatmu biar kamu bisa jadi kupu-kupu lagi” ucapku menenangkannya.
Gadis itu menatap wajahku. Aku tahu ia sedang memendam rasa yang amat sangat menyakitkan. Ia tak hentinya memandang lehernya yang sedang di pasangkan Gip, juga pada kursi roda yang setia menemaninya.
Helena- gadis itu- meraih kaca solek yang berada tepat di sampingnya. Ia memandang wajahnya yang lecet karena luka bakar. Meskipun tatapannya nanar, tetap saja sebening kristal yang terlalu pahit untuk di teteskan akhirnya menetes juga.
Tak ada satupun yang bisa di harapkan Helena. Ia tahu tak ada lagi kesempatan kedua baginya untuk dapat lagi menjadi selebritis. Siapa yang tak kenal ia coba? Seorang bintang yang memiliki aura dan aku yakin tak ada indah seperti dirinya.
Tapi sekarang semua sudah menjadi hambar. Helena merasa ia telah kehilangan rasa untuk menggapai semuanya lagi. Tak akan ada lagi yang mau menatap wajahnya yang hancur berantakan. Padahal dulu, wajahnya yang cantik itu sering menghias kaca televisi.
Ya, semua itu telah di rampas oleh kecelakaan itu. Kecelakaan yang tak pernah sebelumnya terfikirkan. Malam terkutuk itu adalah mimpi buruk bagi Helena.
Seandainya saja Helena menuruti perkataan orang tuanya pasti semua tak akan hancur berantakan seperti ini. Padahal mama Helena telah mengingatkan Helena untuk tidak mengikuti show malam itu.
“Len, sebaiknya kau tak usah datang ke show itu, toh hari juga udah malam. Nggak baik kalau wanita pergi malam-malam. Len, mama punya firasat tidak enak” ucap mama Helena sebelum Helena mengalami kecelakaan maut itu.
“Ma, aku tidak bisa menolak pada produsernya. Lagian, aku kan nyari duit! Kenapa mama melarang?”
“Len, mencari nafkah itu bukan kewajiban kamu sayang!” mama masih ngedumel.
“Mama ini cerewet sekali!” Helena masih membantah. Ia tetap dengan pendiriannya untuk datang dan menghadiri show itu.
Kalau mengingat kejadian itu ingin rasanya Helena meminta Tuhan untuk memutar waktu kembali. Pasti ia tak akan menolak permintaan mamanya untuk datang ke Show itu agar semua tak jadi kacau seperti ini. Hidupnya terasa hambar. Tak ada yang bisa di harapkan Helena, selain duduk dengan tatapan kosong di kursi rodanya.
“Len, kamu harus ingat kalau Life Must Go On! Kan kamu yang bilang ke aku seperti itu. Kamu masih ingatkan?” aku masih berusaha membujuknya.
Dia masih bungkam dan menguci mulutnya. Hanya bola matanya saja yang menatapku. Suaranya tak keluar untuk menjawab pertanyaanku. Sejenak ia merasakan dirinya tertegun.
“Terlambat! Terlambat! Semua sudah terlambat. Tidak mungkin aku masih tetap bertuah pada kata-kata itu” balasnya
“Kamu harus janji padaku kalau kamu ingin jadi kupu-kupu lagi. Meski sekarang kamu tidak ada sayap buat terbang, tapi aku akan ajarkan kamu terbang ke angkasa sana untuk jadi bintang lagi. Kamu pasti bisa menjadi kupu-kupu yang terbang tanpa sayap” balasku.
“Without wings?? However can I do?”
“I’m promise, I’ll give my wings for you. You will can fly again. You must believe it!” ucapku sambil menyeka air matanya. Kemudian kudorong kursi rodanya ke kamar. Mama Helena hanya menatap sekilas dengan mata berkaca-kaca. Ia tak kuasa melihat anaknya terdiam membisu seperti itu.
Aku biarkan Helena sendiri di kamarnya. Aku pulang tertikam kata-kata yang di lontarkan Helena tadi. Terlintas harapan di benakku dan sebuah keyakinan yang mengatakan kalau Helena masih bisa bermain di taman surganya, jadi kupu-kupu yang bisa terbang tanpa sayap. Meskipun ia telah kehilangan kedua belah sayapnya. Ia pasti masih bisa melihat wajah cantiknya yang hadir di layar televisi.
Aku masih bisu. Jiwaku terbelenggu untuk dapat meyakinkan Helena kalau ia masih punya semangat untuk menatap hari-harinya. Aku berusaha untuk meyakinkan kalau Helena bisa terbang tanpa sayap. Terbang untuk menjadi bintang lagi ke angkasa. Jadi kupu-kupu tak bersayap. Ya ...! Sekian.
“Padang, pertengahan Desember 2007.
*NB Cerpen ini telah di publikasikan di Singgalang pada kolom cerpen kamu SMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar