Dodi Prananda, lahir di Padang 16 Oktober 1993. Studi di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Menulis satu buku kumpulan puisi dan puluhan antologi bersama. Folllow: @pranandadodi dan Kunjungi: www.dodiprananda.wordpress.com
Minggu, 23 Mei 2010
Dongeng Bunda
Oleh Dodi Prananda
“Ayo, anak bunda yang cantik, yakin nih nggak mau dengar dongeng Bunda?” sahut Bunda pada Nengsih. Nengsih melirik Bunda yang sedang membuka buku kumpulan dongeng yang baru dibelinya di Gramedia. Soalnya kantor Bunda sangat dekat dengan toko buku Gramedia, jadinya Bunda bisa belanja buku sepulang dari kantor. “Iya Bun, Nengsih mau dengar Dongeng Bunda!” sahut Nengsih cepat.
Bunda mendekap putrinya itu. Diciumnya kening Nengsih. Bunda memang biasa menceritakan dongeng-dongeng kepada Nengsih. Kadang Bunda mendongeng tanpa perlu melihat buku kumpulan dongeng. Tapi, pernah pula Bunda mendongeng yang dikarang sendiri oleh Bunda. Dengan gaya khas Bunda, Bunda memulai dongengnya.
“Tapi, Nengsih masih ingat nggak dongeng Bunda yang kemarin?” tanya Bunda. Bunda seakan-akan membawa Nengsih ke hari kemarin. Kemarin Bunda mendongengkan dongeng “Si Ratu Pelit” pada Nengsih. Nengsih pun menyimak dongeng Bunda dengan serius. Hampir tak ada ia mengedipkan matanya. Bola matanya tak henti menatap Bunda yang sedang bercerita.
Dongeng Si Ratu Pelit diceritakan bunda dari sebuah buku kumpulan dongeng. Bunda baru saja membeli buku itu seminggu yang lalu. Dongeng itu sangat bagus sekali. Nengsih masih mengingatnya dengan jelas. Dongeng Si Ratu Pelit itu bercerita tentang ratu yang mukanya habis digigit oleh lebah karena ia tidak mau memberi pengemis yang datang ke istananya. Padahal si Ratu sudah berjanji pada raja tunggal kerajaan untuk mau berbagi kepada orang yang membutuhkan. Akhirnya karena kepelitannya, beribu-ribu lebah menyerangnya ke dalam istana.
Nengsih sangat tertegun mendengar dongeng yang diceritakan bunda kemarin. Nengsih iba pada si Ratu yang muka cantiknya cacat. “Bun, Nengsih jadi kasihan pada ratunya, padahal ia kan orang yang paling cantik di negeri itu” ujar Nengsih memberi komentar.
“Coba kalau sang Putri mau membantu pengemis itu ya Bun, pasti mukanya kan nggak jadi jelek karena digigit lebah. Mang Usman yang digigit satu lebah saja mukanya jadi bengkak, gimana kalau yang mengigit si putri beribu-ribu ya, Bun?” ucap Nengsih lagi pada Bunda.
Bunda hanya tersenyum. Bunda senang Nengsih bisa memberi komentar ketika Ibu selesai mendongeng. Bunda ingin anaknya cerdas karena ia sering mendongengkan Nengsih. Bunda berharap dari cerita dongeng yang ia ceritakan pada Nengsih bisa menjadi pelajaran bagi Nengsih. Soalnya Bunda kemarin membaca tulisan di sebuah Koran ibukota. Kata tulisan dikoran itu katanya dongeng bisa merangsang pikiran anak.
Buktinya usaha Bunda itu berhasil. Setelah Bunda mendongengkan dongeng Si Ratu Pelit itu, Nengsih jadi sering memberi uang pada pengemis. Kemarin Bunda melihatnya sendiri, waktu ia mengantarkan Nengsih ke sekolah dengan mobil kijangnya. Ketika mobil berhenti dilampu merah, ada seorang pengemis yang mengetuk kaca mobil.
Nengsih membuka pintu mobil. Ia mengambil beberapa lembar uang jajannya. Bunda sudah menebak kalau ia akan memberi pengemis itu. Benar rupanya. Nengsih benar-benar memberinya pada pengemis itu. Uang dua ribu rupiah dari jajannya ia berikan pada pengemis itu. Bunda melirik Nengsih yang kelihatannya senang bisa membantu pengemis itu.
“Bun, Nengsih nggak mau kayak si Ratu Pelit yang mukanya digigit oleh ribuan lebah yang menyerangnya! Nggak apa-apa kan Bun? Meskipun jajan Nengsih jadi tinggal seribu lima ratus karena harus memberi pengemis itu, tapi Nengsih ikhlas kok, Bun. Seperti dongeng “Pak Kusir Dan Kereta Kuda”. Dongeng yang paling Nengsih suka Bun!”
Bunda tersenyum. Ia senang melihat putrinya bersikap seperti itu. “Emang Nengsih masih ingat ceritanya?” tanya Bunda.
Nengsih meletekkan jari telenjuknya di kening. Seperti sedang berpikir, tapi ia hanya menirukan gaya gambar Albert Einstein yang ia pasang di dekat meja belajarnya. Bunda juga sering menceritakan tentang kehidupan para ilmuwan seperti Albeirt Einstein pada Nengsih. Dengan cepat Nengsih bisa menangkapnya. Salah satu buktinya, ia masih mengingat gaya khas Einstein kalau lagi sedang berfikir.
“Masih ingat dong, Bun. Pak Kusir yang hanyalah seorang penduduk desa terpencil. Nengsih ingin seperti Pak Kusir yang selalu ikhlas dalam menjalani hidupnya. Ketika kudanya diculik oleh seorang pencuri, Pak Kusir tidak sedih. Ia tetap sabar dengan hati yang ikhlas. Akhirnya dua hari kemudian kudanya kembali sendiri ke rumahnya. Alangkah senang hati Pak Kusir ketika melihat kudanya bisa kembali. Terus, ketika kereta kuda Pak Kusir ditabrak oleh raja yang jahat sekali, Pak Kusir tidak marah. Pak Kusir hanya tersenyum pada sang raja. Coba orang-orang sekarang seperti Pak Kusir yang selalu Ikhlas ya Bun dalam semua musibah yang menimpanya,” ujar Nengsih panjang lebar.
Itu adalah kenangan Bunda yang manis sekali. Kenangan ketika melihat anaknya bersikap sangat terpuji. Bunda bangga dan bahagia memiliki buah hati seperti Nengsih. Bunda memulai dongengnya hari ini untuk Nengsih.
“Hari ini Bunda akan mendongeng untukmu, Dongeng Bunda kali ini yaitu berjudul “Putri Berambut Emas”. Alkisah di negeri antah berantah, hiduplah seorang putri dan keluarganya yang hidup di sebuah kerajaan yang mansyur. Putri Dumi senang merawat bunga kamboja yang ada dihalaman istananya. Suatu hari ia melihat seorang putri dari kerajaan lain masuk ke istananya. Sang putri ini sangat angkuh dan sombong. Dengan kasar ia berbicara pada Putri Dumi dan memaki-maki Putri Dumi. Putri yang angkuh itu menuduh Putri Dumi telah mencuri bunga kamboja miliknya”
“Hei, Dumi, pasti kamu yang telah merampas bunga kamboja milikku. Dasar putri pencuri!” ujar Bunda sambil menirukan gaya seperti putri angkuh.
Nengsih menopang tanganya didagu. Ia sangat serius mendengarkan dongeng Bunda. Dalam benaknya, ia mengimajinasikan karakter Putri Dumi dan putri yang angkuh itu. “Terus gimana akhirnya, Bun? Nengsih jadi penasaran nih!” ujarnya pada Bunda.
“Kedua Putri kerajaan itu akhirnya saling bersumpah. Kalau seandainya memang benar Putri Dumi telah mengambil bunga kamboja itu, maka Putri Dumi akan dipenjarakan di Istana putri angkuh itu, tapi kalau ternyata bukan Putri Dumi yang mengambilnya, maka putri angkuh itulah yang akan dihukum. Akhirnya setelah disidang, Putri Dumi dinyatakan tidak bersalah. Tiba-tiba rambut Putri Dumi menjadi emas, maka sejak itu seluruh orang disekitar kerajaan mengenal putri Dumi dengan sebutan Putri Berambut Emas,” ujar Bunda menutup ceritanya.
Nengsih benar-benar tidak bisa mengedipkan matanya. Ia seperti telah masuk ke dalam kerajaan tempat dimana Putri Dumi berada. Ibu menatap putrinya itu dengan senyum yang manis. Biasanya Nengsih akan selalu berkomentar ketika Bunda selesai mendongeng. Tapi, kali ini Nengsih belum berani untuk berkomentar.
“Bun, Nengsih mau mengaku deh kalau Nengsih udah salah. Kemarin Nengsih nggak sengaja menemukan dompet ini. Tapi, Nengsih belum mengembalikan kepada pemiliknya. Nengsih nggak tahu dompet ini punya siapa,” jelasnya. Bunda hanya senyum-senyum saja. Senyum bangga atas sifat Nengsih yang mau jujur.
“Baik, besok kita cari siapa pemilik dompet ini. Tapi kamu nggak ngambil uang di dompet ini kan?” Tanya Bunda.
“Uang yang ada dalam dompet ini masih utuh kok, Bun. Soalnya Nengsih kan juga mau jadi Putri Rambut Emas!”
Bunda dan Nengsih saling berpelukkan. Lagi-lagi Bunda merasa bangga mempunyai anak seperti Nengsih.
Padang, 21 November 2009 (Buat: Tante Mulyani dan Adekku, M.Fajri)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Izin share ya
BalasHapus