Minggu, 10 April 2011

Gairah Sastra yang Kering di Sekolah dan Siswa yang Rabun Sastra

Oleh Dodi Prananda


Fenomena keringnya gairah sastra di bangku anak sekolah memang bukan sebuah kaji baru. Persoalan tersebut bisa dibilang sebagai kaji lama yang sifatnya bagai hidup segan mati tak mau. Sehingga yang terjadi hingga sekarang, masalah kerap diapungkan, tapi lambat laun tergerus dengan sendirinya karena menjadi masalah yang kurang mendapat perhatian dan dibiarkan terkubur begitu saja.

Bahkan, maestro sastrawan asal Sumatra Barat, Taufiq Ismail sudah mengapungkan masalah ini sejak tahun 2003. Persis saat itu ditandai dengan gencarnya Taufiq Ismail melakukan komparatif bagaimana pelajarang mengarang berikut budaya ‘membaca’ sastra dalam dunia kurikulum sekolah yang ada di Indonesia. Sehingga, pada akhirnya survey yang sangat sederhana dan serba terbatas (melalui kilas potret, dan wawancara sederhana tamatan SMU dari 13 negara) yang dilakukan oleh Taufik Ismail tersebut membuat kita sedikit tersentak. Betapa tidak. Betapa sungguh menyedihkan bila mengetahui dalam kurikulum akademis sekolah di Indonesia, hampir tidak ada satu jenis buku atau bacaan sastra yang dijadikan sebagai bacaan sastra wajib.

Masalah bacaan tersebut, bila Indonesia dibandingkan dengan negara-negara luar, Indonesia jauh terbelakang ketimbang negara yang lain. Kita patut berkaca sekaligus mengapresiasi Amerika Serikat yang mewajibkan kepada siswa-siswinya membaca 32 judul buku dalam kurun waktu tiga tahun. Hal serupa juga terjadi di Jepang dan Swiss. Di kedua negara itu, setidaknya ada aturan membaca sastra sebanyak 15 judul buku. Mengambil contoh yang lebih dekat, Singapura misalnya, di negeri singa itu juga mengharuskan untuk menamatkan bacaan sastra sebanyak lima hingga tujuh judul buku. Lebih dekat lagi, ‘tetangga sebelah rumah’ Malaysia, Thailand atau Brunei Darussalam, dalam kurikulum akademisnya juga mengharuskan siswa-siswanya membaca sastra dalam jumlah yang sama dengan Singapura. Lantas, di negara kita sendiri? Sama sekali tidak ada satupun judul buku sastra sebagai bacaan wajib yang harus ditamatkan dalam kurun waktu tertentu.


Bahkan hingga saat ini, Taufik Ismail belum bisa menjawab. Persoalan apa sebenarnya yang terjadi? Padahal, apabila kita menilik ke belakang, kita dihadapkan pada sebuah fakta, bahwa ketika zaman atau era Algemeene Middelbare School (AMS) pada zaman Hindia Belanda, siswa-siswa telah diwajibkan membaca 15 hingga 25 judul buku sastra. Lalu, kenapa sekarang, pasca era Hindia Belanda, kebanyakan sekolah bagai menderita rabun sastra dan masalah kekeringan gairah sastra itu sendiri.
Secara sederhana, persoalan ini tentu dilatarbelakangi atas adanya pemisahan mata pelajaran Sastra Indonesia yang dulu pernah dimasukkan pada kurikulum sekolah. Akan tetapi karena banyak pertimbangan dan lain hal, akhirnya mata pelajaran Sastra Indonesia dengan Bahasa Indonesia digabung menjadi satu dalam mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Sehingga, buntutnya porsi pembelajaran sastra pun menjadi berkurang.Tidak hanya soal porsi yang berkurang, tetapi juga sedikitnya program jurusan Bahasa yang dibuka oleh kebanyakan sekolah saat ini. Bahkan, sekolah-sekolah yang masih membuka jurusan bahasa dalam kurikulumnya, dapat dihitung dengan jari. Kosentrasi jurusan bangku sekolah menengah atas, jauh lebih ditekankan ke jurusan ilmu alam dan ilmu sosial. Sehingga eksistensi jurusan bahasa perlahan mulai sirna dan kurang diminati oleh kebanyakan pelajar.

Persoalan kedua, mengenai proporsi pembelajaran bahasa dan sastra di kedua jurusan yang kini berkembang di dunia pendidikan. Materi sastra bisa dibilang minim, hanya terkonsentrasi pada ruang lingkup apresiasi sastra dalam taraf dasar. Pembelajaran sastra terbatas pada bahasan intrinsik dan ekstrinsik karya sastra yang tidak pula dilakukan secara mendalam. Tuntutun kurikulum yang serba terbatas untuk materi sastra, tidak sebanding dengan tuntutan pada bidang teknologi, sains, dan lingkup fisik yang didoktrin jauh lebih urgen ketimbang materi sastra.

Sehingga pada akhirnya, pemahaman siswa pada sastra menjadi sangat terbatas. Pada pembelajaran yang mengharuskan siswa membaca sastra, tidak sampai pada taraf analisis isi sastra yang dilakukan secara menyeluruh. Pada akhirnya lagi, minat membaca sastra semakin berkurang dan tergerus akibat kebutuhan, tekanan, dan desakan untuk menguasai lingkup lain yang dinilai urgensif daripada sastra.

Tidak mengherankan pula bila di kebanyakan sekolah tidak memiliki fasilitas labor bahasa yang representatif untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Kepincangan ini menjadi bukti riil bahwa sastra diletakkan pada posisi terbelakang, ketimbang desakan kurikulum yang mengharuskan siswa menguasai pembelajaran yang bersifat sains. Untuk itulah, perhatian kebanyakan sekolah jauh lebih ditujukan pada pemenuhan fasilitas pendukung dan sarana prasarana pembelajaran sains di laboratorium. Kegiatan yang berhubungan dengan pembelajaran sains selalu pada posisi nomor satu. Berbeda dengan kegiatan pembelajaran sastra seperti pembelajaran sastra di alam, bengkel sastra, bedah sastra dan seterusnya hampir tidak ada. Pun bila ada, mungkin peminatnya tidak begitu banyak sebagaimana peminat sains. Karena secara tidak sadar, kondisi demikian mengakibatkan keadaan dimana minimnya jumlah siswa yang mencintai sastra.

Kondisi yang demikian, telah menjadi perhatian kebanyakan kalangan sastrawan. Mereka sebagai produsen karya sastra berusaha pula untuk mengkaji hal tersebut, sehingga ‘produk’ mereka dapat diterima semua kalangan, termasuk kalangan akademis di sekolah. Bila kita menyempatkan diri untuk mampir di rumah puisi Taufiq Ismail, maka potret ini akan bisa terbaca melalui banner-banner yang dipasang di dinding rumah puisi Taufik Ismail tersebut. Di sana ada sajian statistik berupa tabel yang memuat informasi tentang komparatif pembelajaran sastra di beberapa negara. Misalnya, di Amerika Serikat. Di negeri Paman Sam itu, khusus untuk pembelajaran sastra didasari atas beberapa lingkup utama meliputi sastra, mengarang, tata bahasa, bicara, dan lain-lain. Kelima aspek itu memiliki porsi yang berbeda-beda satu sama lainnya. Teknik pembelajaran demikian diupayakan atas dasar mewujudkan kecintaan siswa pada pembelajaran sastra sehingga tidak ada pemikiran dalam benak siswa bahwa pembelajaran sastra (di Amerika disebut sebagai literature class) tidak membosankan.

Tidak hanya soal banner yang memuat informasi seputar teknik pembelajaran sastra di Amerika Serikat, melainkan juga perbandingan jumlah bacaan sastra 13 negara. SMA di Amerika Serikat, tepatnya di kota Forest Hills menempati posisi dengan jumlah bacaan sastra terbanyak sejak 1987 hingga 1989 dengan jumlah bacaan sebanyak 32 judul buku. Menyusul dibelakangnya salah satu SMA di kota Middleburg Belanda dan SMA di kota Pontoise Perancis, yaitu sebanyak 30 judul buku. Selebihnya dalam jumlah 15 hingga 5 judul buku. Yang menggelitik yaitu di Indonesia, bahwa di kota mana saja sejak 1943 sampai 2008 silam, jumlah buku bacaan sastra wajib yaitu sebanyak nol judul buku.
Untuk itu, sekali-kali bertanyalah Anda pada siswa-siswa SMA saat ini. Jangan heran pula bila mereka agak kebingungan menjawab ketika Anda lontarkan pertanyaan: siapa Sultan Takdir Alisjahbana itu, atau siapa A.A Navis, Hamka, Marah Rusli, N.H Dini, Sanusi Pane, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar atau nama-nama sastrawan nasional asal Sumbar seperti Wisran Hadi, Gus tf Sakai, Darman Moenir, Rusli Marzuki Saria, Yusrizal KW, Harris Effendi Thahar atau pertanyaan lain seperti: siapa penulis cerpen Robohnya Surau Kami? Siapa penulis novel Salah Asuhan? Agaknya, para ilmuwan mutkahir perlu melakukan discovery untuk merancang sebuah kacamata yang mampu mengatasi penyakit rabun jauh yang semakin parah tersebut. []

Penulis bergiat di Sanggar Sastra Pelangi Padang, Yayasan Citra Budaya Indonesia


---------------
Tulisan ini dimuat di Singgalang Minggu, 10 April 2011 pada rubrik Khasanah Budaya.

1 komentar:

  1. Salam sentosa, mas Dodi.
    Nama saya Roby, saya mahasiswa UPI Bandung. Bukan kebetulan saya sedang tertarik pada proses pengembangan karya sastra di beberapa negara itu sampai pada tahap diwajibkan. Kalau boleh, saya harap mas dodi sudi membagi data-data dan hasil penelitian yang mas miliki untuk saya pelajari lebih lanjut. Terlebih hasil penelitian Taufik Ismail, saya juga ingin mempelajarinya.
    Jika mas Dodi berkenan, tolong hubungi saya di alamat: ajibugha@yahoo.com.
    Terimakasih banyak,
    Salam hormat dan salam kenal.

    BalasHapus