Rabu, 20 Agustus 2008

cerpen hujan-hujan mungil dodi prananda

HUJAN-HUJAN MUNGIL

Oleh Dodi Prananda

Aku hanya menghabiskan waktuku dikamar seharian. Sedikit kubuka kaca jendela yang di singgahi butir-butir hujan yang kemudian menetes pelan ke bawah. Ku tutup lagi kaca jendela itu. Suasana yang membosankan.

Dingin masih merajai . Ngilu juga mencoba untuk merayap di tubuhku. Tiba-tiba terngiang di benakku akan cerita ayah tentang masa kecilku. Kisah kecilku yang sering berbasah kuyup sambil kedinginan bersama anak-anak kecil seusiaku.

Ayah juga pernah bilang begini “Hujan itu adalah sahabat kita. Kamu ayah ibaratkan hujan arogan, sedangkan Lulu, adekmu ayah ibaratkan hujan-hujan mungil, gerimis maksud ayah”.

Ucapan ayah semakin hafal dibenakku. Aku jadi teringat ayah. Semoga ayah pulang cepat dari kantor. Aku ingin mendengarkan cerita ayah lagi. Suatu hari ayah juga pernah bilang padaku tentang hujan itu.

“Kamu tahu kenapa kedua anak ayah penggila hujan?”ayah membuatku tertegun. Aku simak betul ucapan ayah barusan.

“Dulu sewaktu ibumu melahirkan kamu, saat itu bertepatan dengan musim penghujan. Sedang Lulu, adekmu juga. Barangkali itu yang membuat kalian berdua begitu suka pada hujan”.

Aku menutup kembali kenangan itu. Kembali ingatanku tertuju pada ayah. Sepi sekali tanpa ayah. Biasanya ayah menyuguhkan guyonannya di saat yang membosankan seperti ini. Hanya hujan yang menemani lamunanku. Tak ada yang lain. Suara kodok yang santer terdengar di senja seperti ini juga sudah tidak terdengar lagi. Mungkin di kalahkan oleh suara hujan yang begitu arogan, hingga membius kita akan suara yang terdengar di saban senja seperti ini. Bianglala juga enggan hadir. Burung-burung jengah, sudah saatnya mereka pulang ke kandang tapi terhalang. Jangkrik juga. Ah! Amboi! Sungguh hujan yang begitu membosankan.

Tanpa ku sadari wajah ibu hadir di depan pintu. Ibu menyuguhkan sepiring gorengan dan secangkir teh panas yang asapnya masih mengepul. Ibu menaruhnya di mejaku. Ibu tersenyum manis. Aku balas tersenyum. Perlahan ibu menghampiriku yang masih betah lungguh di ranjang.

“Kamu ingat siapa? Dari tadi pagi ibu tengok kamu cuma melamun saja”

“Aku ingat Lulu dan ayah Bu,”ucapku sambil mencomot sepotong gorengan yang masih hangat. Ibu berlalu dari hadapanku. Ibu menutup kembali pintu kamarku rapat-rapat tanpa mengundang bunyi sedikitpun. Sekoyong-konyong aku dikejutkan oleh suara dering ponselku yang membuat aku reflek terkejut. Suara ayah terdengar di seberang.

Ada apa, Yah? Tumben ayah menelfon”tanyaku pada ayah.

“Bilang pada ibu, ayah terjebak hujan dijalan. Kalau ayah meneruskan perjalanan itu sudah tidak mungkin. Hujan badai juga tak bersahabat. Jalanan licin sekali. Ini bukan hujan kita, juga bukan hujan-hujan mungil kepunyaan Lulu”

“Maksud ayah?”sekonyong-konyong pembicaraanku dengan ayah terputus begitu saja. Hatiku kian galau. Lebih galau lagi dari hujan yang turun semberaut. Jantungku terasa di pompa dahsyat. Darahku mendesir kilat. Kubuka lagi jendela. Hujan makin tak bersahabat. Hujan terasa membakar tubuhku di tengah hujan badai seperti ini.

Tanpa dikomando aku bergegas menemui ibu di belakang. Kulihat ibu merintih di dapur. Darah menetes di tangan ibu yang agaknya terkena sayatan pisau.

“Tam, tolong ambilkan ibu kapas dan obat merah,”perintah ibu dengan wajah pucat.

Mengapa jadi begini?. Suasana jadi berubah tidak menyenangkan. Hatiku masih berkecamuk, masih dibayang-bayangi dan di hantui oleh ucapan ayah tadi. “Semoga tidak terjadi apa-apa dengan ayah,”gumam batinku.

Belum rampung galau hatiku tentang ayah, sekarang ibu malah membuat hatiku kian berkecamuk. Apa pula yang terjadi pada ibu?.

“Bu, ini! Aku menyodorkan kapas dan obat merah. Ibu masih mengaduh kesakitan. Darah juga masih belum berhenti mengucur dari jemarinya.

Aku dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Siapa yang bertamu ditengah galau dan kacau-balau hatiku ini?. Ayah barangkali!.

Aku tercengang dengan mata terpana sambil mendongak pada wajah tamu yang datang. Ternyata Om Reza, rekan kerja ayah dikantor. Entah kenapa Om Reza memasang wajah panik bukan main. Ada raut kesedihan yang bisa kutangkap dari raut wajah dan gerak bibir Om Reza yang tiba-tiba kaku.

“Tama! Bilang pada ibumu kalau ayah kamu tadi kecelakaan. Om sudah melarang agar jangan nekat pulang di tengah cuaca badai seperti ini. Tapi ayah kamu keras kepala, pulang dengan alasan ia tak ingin hal yang buruk itu menimpa Lulu dan ibumu”ucap Om Reza dengan mengiba. Diriku terasa seperti di remukkan.

“Sekarang ayah ada dimanaOm?”suara parauku terdengar begitu pelan dan sayup.

Ada dirumah sakit”jawab Om Reza sambil menopang tubuhku yang tiba-tiba tersungkur di tubub Om Reza. Aku terjatuh dengan tubuh tak berdaya dan yang tidak aku tahu nyawaku sekarang entah berada dimana.

***

Sehabis melihat keadaan ayah yang sedang kritis di Rumah sakit, aku meminta Om Reza untuk mengantarkanku ke tempat Lulu yang sekarang berada di rumah nenek. Lulu memang sudah terbiasa di beri kasih sayang oleh nenek. Bahkan semenjak kecil nenek sering memberi perhatian pada Lulu sehingga keduanya sukar di pisahkan.

Sebenarnya aku tak ingin terjadi apa-apa dengan Lulu. Ucapan ayah yang terakhir kali, masih meraung dibenakku. “Ini bukan hujan kita”kalimat yang tak bisa kutafsirkan.

Malam makin larut. Lampu jalanan tinggal sisa keredupan. Semua terdengar samar. Hujan masih tetap membuas. Dingin. Ngilu. Ngilu sekali.

***

Lulu masih bermain dengan mimpinya. Sebelumnya nenek juga terkejut dengan kedatanganku di tengah larut malam dan hujan badai seperti ini. Kubelai rambut Lulu. Kukecup pipinya berkali-kali. “Semoga ia dapat nerasakan apa yang kurasakan sekarang, Semoga ia tahu kalau ayah yang sama-sama kita cintai sekarang sedang berada di rumah sakit.

Perhatianku dicuri oleh sebuah toples dan secarik kertas yang berada di sisi ranjang Lulu. Ada sebuah toples bertuliskan “Hujan-hujan mungil” yang berisi tetesan air yang menyerupai tetesan air embun. Aku membuka secarik kertas itu.

“Nenek, Lulu ingin pulang. Lulu takut ayah yang menimpanya. Lulu tak mau kehilangan ayah. Lulu tak ingin air mata Lulu bersatu dengan hujan-hujan mungil itu. Kalau ayah yang menimpanya dan ayah meninggalkan kami, siapa lagi yang akan mencarikan uang untuk sekolah Lulu?. Nek, Lulu ingin di samping ibu sebelum darah itu menetes dari jemari ibu. Nek, bawaLulu pulang secepatnya. Sebelum semua terlambat”.

Tanpa kusadari air mataku menetes pelan dari pipiku. Kugenggam tangan Lulu erat. Kupeluk dia seerat-eratnya. Aku makin dikejutkan oleh dering ponselku. Tubuhku bergoncang. Aku panik bukan main ketika dilayar ponselku tertera tulisan “Ibu memanggil”. Semoga saja ibu tidak menyampaikan berita duka itu. Berita duka tentang kepergian ayah, seperti yang ada dalam secarik kertas Lulu itu.

“Syukurlah Tam, ayah sudah siuman. Ayah tidak kenapa-napa. Cuma lecet diberapa bagian tubuhnya saja”suara ibu membuat hatiku begitu lega. Rasa girang yang teramat sangat membuncah di dasar jiwa.

Semua terasa disulap. Hujan yang tadi badai dan arogan, kini hanya bersisa gerimis, butir-butir hujan mungil. Lulu terjaga dari tidurnya. Ia memelukku dan melepaskan kerinduannya. Semua jadi berubah. Suasana malam yang sepi dan sunyi senyap terasa begitu damai. Aku beranjak ke arah jendela kamar Lulu dan memberinya celah.

“Lihat Lu, Hujan-hujan mungil. Ini mungkin hujan milik kita!”ucapku pada Lulu yang tak hentinya menyebut-nyebut kata-kata “Ayah…,Ayah…,Ayah…,pulang yah!. Sekian*** Padang ,1 Juli 2008 dalam hujan mungil yang merintih memanggil ayah.

1 komentar: