Dodi Prananda, lahir di Padang 16 Oktober 1993. Studi di Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Menulis satu buku kumpulan puisi dan puluhan antologi bersama. Folllow: @pranandadodi dan Kunjungi: www.dodiprananda.wordpress.com
Sabtu, 05 Maret 2011
Sebuah Cerita: Perjalanan Lahirnya Isabela di Sekolah Kita
Adalah sebuah ketidaksengajaan, Ibu Amriati (Pokja Sarana dan Guru Geografi) meminta kami: Dodi Prananda, Efri Mulia Yusli, Eka Permana Putra, Batara Pareto Deddi dan Bramosh untuk menemui beliau di ruang kurikulum. Bertanya-tanya hati kami ketika tengah asyik berpetualang di dunia maya dan menerima permintaan menuju ruang kurikulum. Memang bukan kesengajaan pula, kami berempat hari itu duduk bagai berbaris dengan rapi di lobi utama SMA 1 dan menikmati fasilitas wifi melalui laptop yang menyala sejak usai beraktivitas di sekolah. Tapi, satu hal yang tidak kami pungkiri, aktivitas demikian kami jalanai bagai sebuah kebiasaan (usage) yang sudah merutin dan dilakukan tanpa unsur kesengajaan. Muara kami adalah di lobi, karena disanalah biasanya kami menikmati fasilitas free wifi sekolah kita pun karena ketersediaan colokan listrik di sana.
Maka, ketika Bu Am memanggil kami dengan panggilan yang terdengar serius dari lantai dua, kami menemui beliau dan bergegas menuju lantai dua. Pun bertanya-tanya lagi hati kami lagi: ada apakah ini? Sebuah panggilan untuk sebuah permintaan tolongkah, sebagaimana biasa Bu Am ingin meminta siswanya ketika ia butuh bantuan. Maka, kami berempat seraya berjalan menuju ke sana, berkelakar kecil sambil menebak-nebak. Efri dengan tawanya yang khas menebak suruhan apakah yang akan dialamatkan pada kami berempat.
Dengan pertanyaan yang bergumpal di benak kami, kami sampai di hadapan guru berkulit putih itu. Beliau melempar senyum kepada kami berempat. Kelompok Pecinta sekolah: begitulah beliau memanggil kami. Keranjingan berlama-lama di sekolah (sekalipun tidak ada aktivitas yang begitu berarti) bagai telah menyulap kami mendapat julukan demikian. Maka kami pun berinisiatif melempar tanya sebelum guru kami itu menerangkan maksud panggilannya. Kami saling berlirikan, sebelum pada akhirnya diterangkan pada maksud pemanggilan itu.
Dan tanpa kami sadari pula, keberadaan kami (atas panggilan) itu (sungguh tidak sengaja pula) telah mewakili posisi-posisi yang bisa dibilang telah merepresentasikan posisi yang urgen masing-masing di setiap bidangnya. Efri misalnya, ia Mantan Ketua OSIS 2009 s.d 2010, saya pelajar yang dikenal kualifikatif dalam dunia media setelah merampungkan pengembanan tugas sebagai Pimpinan Redaksi Media SMANSA 2009 s.d. 2010. Lalu, Eka, aktivis OSIS dan pesohor karate di SMA 1, lalu Bram. Mungkin, indikasi ini pula yang telah menjadi landasan kenapa pada akhirnya Bu Am memanggil kami. Mungkin, dalam asumsi kami keberagaman posisi yang bisa dibilang urgen yang pernah kami emban, menjadi alasan Bu Am telah memuarakan permintaan bantuan tersebut pada kami.
Lalu kami menuju ruang kurikulum. Di sana, Bu Mailendra (guru Bahasa Indonesia) sudah menyambut kami dengan senyum renyahnya. Terasa oleh kami dibawa dalam suasana tawa yang sering kami dapatkan ketika kami bertemu dengan beliau. Selain dekat dengan banyak siswa, kami memang simpatik pada karakter Bu Len (demikian guru berkacamata itu akrab disapa), yang dikenal sangat ramah itu. Hingga pada akhirnya beliau mulai menjelaskan.Pelan. Perlahan. Detail informasi, pun semua hal berkenaan atas pemanggilan itu. Maka dengan mudah kami menyimpulkan: maksud pemanggilan tersebut adala prihal permintaan bantuan untuk mencarikan sebuah kata jargon, motto atau slogan yang akan dijadikan kata yang spontan (atau reflek) membuat setiap siswa memungut sampah ketika sekonyong-konyong melihat sampah di sekitarnya. Kesimpulan lainnya, sekolah kita tengah dicalonkan oleh Bapedalda untuk meraih Adiwiyata. Kami pun diberi bayangan atau semacam pemantik inspirasi untuk menemukan nama itu. "SMP 24 misalnya, ada motto Lisa. Lihat sampah langsung ambil," begitu Bu Len menerangkan pada kami keberadaan SMP 24 yang pernah meraih pengharaan Adiwiyata, sekolah berbudaya lingkungan. Maka, salah satu indikator nantinya, sekolah kita pun harus punya jargon serupa yang akan dibudayakan menjadi kata seru yang membuat saban siswa reflek memungut sampah, lalu membuang sampah di tempatnya.
Hingga akhirnya kami diberi waktu satu jam untuk berhembuk mencari nama itu. Bahkan ketika kami hendak turun kembali ke lobi untuk mencari inspirasi, otak kami terus kami paksa untuk mencari kata itu. Kata yang diinginkan oleh kedua guru kami yang sudah kehabisan akal untuk mencari nama itu. Sudah berjalan berpuluh menit, hingga pada akhirnya enam puluh menit telah kami kunyah-kunyah dalam pencarian itu. Malangnya, belum satupun jua kami temukan kata yang tepat, setelah mengulang-ulang menumbuhkan inspirasi melalui pemantik inspirasi (LISA ala SMP 24), berputar-putar di ranah inspirasi media maya, lalu membolak-balik buku, berpindah-pindah halaman pencarian melalui jendela Google. Pada akhirnya yang bersisa adalah tawa-tawa yang diselubungi pikiran berat mencari nama yang tepat. Tak ada jua nama itu. Ada rasa putus asa untuk segera merampungkan pencarian itu, lalu memberikan alasan bahwa kami belum berhasil membantu beliau. Hingga, waktu yang kami sadari berjalan begitu cepat telah memaksa kami untuk memberikan tiga alternatif nama yang kami tuliskan dalam secarik kertas. Pertama racikan Efri, setelah si 'jagoan' Matematika itu berpikir begitu keras mencari nama. Kedua, racikan Eka, dan terakhir racikan saya.
Lalu secarik kertas itu kami sodorkan pada Bu Am. Kami berempat saling berpandangan ketika secarik kertas itu kami sadari telah berada di tangan putih Bu Am. Ada rasa belum puas dalam diri kami. Sehingga kami belum berpikir maksimal, belum memaksa otak kami berpikir lebih keras lagi, sehingga yang ada hanya tertawa kami berempat ketika Bu Am bahagia dengan sinar bola mata yang berbinar-binar dengan apa yang kami tuliskan dalam secarik kertas itu.
***
Sungguh, tidak ada melintas sedikitpun kejadian seperti ini dalam diri kami berempat. Kata yang telah kami temukan itu, begitu cepat digembar-gemborkan, disosialiasasikan, di budayakan, pun yang lainnya. Jumat, 25 Februari, secara formal, nama itu disebutkan di tengah khalayak SMA 1 Padang. Melalui mikrofon di lobi utama yang memancar suaranya di saban kelas dan di seluruh penjuru, Bapak Drs.Jufril Siry, M.M dengan lugas mendeklrasikan kelahiran nama itu dan pernyataan bahwa SMA 1 Padang one step ahead dan berjuang sepenuh daya dan upaya untuk mampu mengantongi penghargaan bergengsi bagi sekolah berbudaya lingkungan se Indonesia. Begitu pula announcer berbahasa Inggris yang kami yakini perwakilan dari Bidang 10 OSIS, menyampaikan informasi urgensif tersebut melalui pengeras suara yang suaranya terdengar di semua kelas mengenai hal tersebut. Pun selebaran yang ditempel di dinding-dinding sekolah.
Sontak, kami yang telah membidani kelahiran nama itu agak sedikit 'kaget'. Semula, kami tidak pernah membayangkan akan begitu cepatnya nama itu membumi, baik dalam konteks sambutan positif ataupun satiran negatif. Adapula kekecawaan. Kritikan. Penyanyangan kenapa pada akhirnya nama itu pula yang terpilih sebagai jargon, motto, atau slogan seruan yang akan dijadikan kata seruan untuk membuat siswa secara otomatis memungut sampah lalu membuangnya. Ada pula suara-suara ganjil yang menyampaikan rasa skeptis (yang secara tersirat kami membaca dialamatkan pada kami sebagai founding father atas nama itu), bahwa layakkah nama itu dipakai sebagai jargon dll tersebut? Adapula pertanyaan; kok mesti Isabela? Adapula suara-suara sumbang yang menyatakan bagai 'ketidaknyamanan' lahirnya Isabela di sekolah kita. Terlepas dari itu semua, kami sebagai panitia kecil yang telah membidangi kelahiran Isabela di sekolah kita menyampaikan kalimat 'Selamat datang Isabela , semoga selalu dikenang di benak siswa-siswa'. Pun kami sangat berharap, nama itu akan memorable dan bisa menjadi keotomatisan memungut sampah yang ada di sekitar kita bila nama itu disebut. Terakhir, kami sedikit memberi klarifikasi, bahwa sebelumnya kami menulis Isabel sebagai akronim untuk 'Itu Sampah Ambil Buang Demi Kebersihan Sekolah', yang pada akhirnya dikerucutkan menjadi Itu Sampah Ambil Buang Demi Sekolah, dengan dalih mentaati kaidah EyD untuk penulisan akronim tidak beraturan.
Hingga kini pun, masih terngiang-ngiang seloroh kami dengan Bu Len, "Bu, Isabela itu adiknya Lisa.." Ha..haa...ha....[ ]
Padang, 25 Februari 2011
Atas nama warga SMA 1 Padang
Dodi Prananda
(mewakili Efri, Eka dan Bram)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar